SELAMAT DATANG DIBLOG ferlionbernata.blogspot.com

Selasa, April 03, 2012

Teori Hukum Pidana TEORI CONDITIOSINEQUA NON


A.    TEORI CONDITIOSINEQUA NON
                   Ada aliran yang menyatakakan bahwa tak mungkin ditetapkan secara positif apa yang menjadi musabah dari suatu akibat.yang mungkin ialah menentukan secara negatif yaitub apakah akibat tersebut dapat dipikirkan tanpa adanya musabah atau hal tersebut menjadi musabah dari akibat itu.
                  Teori  dalam hukum pidana diajukan oleh Van Buri dan dinamakan teori Conditio Sine Qua Non (syarat-syarat tanpa mana tidak).musabah yaitu tiap-tiap syarat yang tidak dapat dihilangkan utuk timbulnya akibat,dinamakan jg teori ekuivalensi.karna menurut pendiriannya.tiap-tiap syarat adalah sama nilainya(equivalent).jg dinamakan teori bedingungstheorie,krn tdk ada perbedaan antara syarat(bedingung) dan mushab.orang yg menyalakan sumbu pelita sama dgn orang yang mengisi pelitadgn minyak.
                  Teori ini dianut oleh Reichsgericht jerman yaitu sebelum kalah dalam perang dunia ke2.dan Vo buri ketika itu ialah presiden mahkamah tersebut,di belanda penganutnya antra lain van Hamel.
                  Pandangan van Hamel tdk mungkin dipakai,apabila menghadapi delik-delik yg dikwalifisir oleh akibatnya,dimana utk memberi pemberatan pidana tdk diperlukan adanya kesalahan terhadap terdakwa timbulnya akibat yang memberatkan tadi.sesungguhnya sebagai jenis tersendiri tidak perlu diadakan dlm wet,krn:
·         Adalah kekeliruan mengadakan pemberatan pidana tanpa melihat kesalahan,dlm hkm pidana modern justru sikap batin terdakwa itu yg penting.
·         Jika toh kita masih akan mempertahankan adanya macam atau jenis delik tersebut cukuplah apabila ancaman pidana bagi delik itu telah ditinggalkan sehingga hakim dapat menjatuhkan pidana yg lebih berat dari pada delik biasa apabila ada hal lain yg timbul dari padanya.
                  Dapat dikatakan bahwa apa yg dipandang sebagai mushab oleh teori conditio sine qua non itu,utk peraktek ialah terlampau luas.karena itu harus di adakan batasan dengan mengadakan perbedaan antara mana yg menjadi musabah dan mana yg merupakan syarat belaka.
                  Dalam mencari batasan antara syarat dan musabah ini ada 2 pandangan yg berlainan yaitu:
·         Mereka yg mengadakan batasan secara umum (megeneralisir)yaitu secara abstrak,jd tdk terikat pd perkara yg tertentu saja,dan karena itu mengambil pendirian pd saat sebelum timbulnya akibat(ante faktum).
·         Mereka yg mengdakan batasan trsbut secara pandangan khusus (mengindividualisir),tdk meninjau secara abstrak dan umum,tetapi secara kongkrit mengenai perkara yg tertentu saja.
Golongan a) adalah golongan teori-teori yang menggeneralisir, Golongan b) adalah golongan teori-teori yang mengindividualisir.
B.     MENURUT VOS ADANYA BEBERAPA ELEMEN :
·         Elemen perbuatan atau kelakuan orang(een doen of een nalaten)
·         Elemen akibat dari perbuatan,yg terjadi dalam delict sekali.
·         Elemen sbyektif yaitu kesalahan,yg diwujudkan dengan kata-kata sengaja(opzen)atau alpa(culpa).
·         Elemen melawan hukum(wederrechtelijkheid)
·         Dan sederetan elemen-elemen lain menurut rumusan undang-undang,dibedakan menjadi segi obyektif misalnya dlm pasal 160 diperlukan elemen di muka umum (in het openbaar)dan segi subyektifr misal pd pasal 340 diperlukan unsur direncana lebih dahulu(voorbedachteraad).

C.    Demikian juga menurut HAZEWINKEL SURINGA didalam suatu strafbaarfei tdimungkinkan adanya elemen lain yaitu:
·         Elemen kelakuan orang(een doen of een naiaten)
·         Elemen akibat,dirumuskan oleh undang-undang karena pembagian delict formil dan materel.
·         Elemen pyschis,seperti elemen dengan maksud opzet dan nalatigheid .
·         Elemen obyektif yg menyertai keadaan delict.seperti elemen umum (in het openbaar)
·         Syarat tambahan untuk dapat dipidananya perbuatan(bijkomende voorwaarde van staf baarheid)seperti dalam pasal 164 dan165 disyaratkan apabila kejahatan terjadi.
·         Elemen melawan hukum(wederrechtelijkheid)sebagai elemen yang memegang peranan penting,seperti dalam pasal 167 dan 406(D.H.Suringa 1986:50).

D.    Pompe memandang elemen staf baarheid adalah:
·         wederrechtelijkheeid(unsur melawan hukum);
·         schuld(unsur kesalahan);
·         subsociale(unsur bahaya/gangguan/merugikan).(pomp 1959:79).
Dasar teori subsocialiteit dari VRIJ itu tumbuh karena adanya asas opportunieteit yaitu atas pertimbangan kemanfaatan didalam kepentingan hukum akan lebih baik kalau jaksa tidak menuntut perkara,sehingga perkara itu disimpan/dikesampingkan(deponeren)untuk tidak sampai diajukan kemuka pengadilan.
                  Tentang elemen-elemen perumusan delict yang diterangkan tersebut diatas,berdasarkan kepada pengertin dari pada  stafbaarfiet yang diartikan dalam definisi panjang/yang lebih mendalam atau definisi menurut teori sepeti yang diajarkan oleh SIMONS dan kawan-kawan.
                  Apabila menurut pandangan yang memandang delict sebagai straftbaar feit dalam arti definisi pendek/hukum positif , maka elemen- elemenya cukup memisahkan dengan mengambil elemen yang obyektif dari perincian menurut VOS maupun HAZEWINKEL SURINGA yaitu:
·         Elemen kelakuan (doon of nalaten)
·         Elemen akibat dari perbuatan menurutrumusan delict
·         Elemen obyektif yang menyertai  keadaan delict yang bersifat kwaliteit atau yang memberatkan atau yang meringankan
·         Elemen melawan hukum (wederrechtelijkheid)
                  Dari elemen yang obyektif dari pada delict itu, teknis perumusan secara konkrit di dalam sesuatu pasal peraturan di bedakan menjadi elemen yang slalu ada dan elemen yang tidak tetap kadang kala baru di cantumkan menurut kebutuhanya.  Yang sering di permasalahkan elemen –elemen delict adalah tentang :
·         Elemen kelakuan (handeling of menselijke gedraging)
·         Elemen akibat dari perbuatan ( veroorzaken van een gevolg)
·         Elemen melawan hukum ( wederrehtelijkheid)
                  Elemen kelakuan dalam bentuknya baik berupa kelakuan dengan berbuat sesuatu maupun tidak berbuat sesuatu yang seharusnya dilakukan , didalam ilmu pengetahuan hukum pidana sering di sebut dengan kelakuan positif , dan kelakuan negatif.
                  Beberapa pembahasan yang dilakukan VOS :
1)      Menyebutkan adanya suatu pengertiyan dari kelakuan sebagai gerakan otot yang di kehendaki dan pengertiyan ini berarti tidak dapat dimasukan terhadap kelakuan negatip jadi pengertiyan ini kurang lengkap.
2)      Kelakuan di artikan suatu kejadian yang di timbulkan oleh orang , yang nampak keluar , dan yang di tujukan kepada suatu tujuan yang menjadi obyek norma yang berlaku , dari pengertiyan ini pun kurang memuaskan.
3)      Kelakuan adalah sikap jasmani yang di sadari yang tidak termasuk gerakan jasmani karena reflek.
                  Elemen akibat dari perbuatan/ kelakuan orang yang dalam ilmu pengetahuan hukum pidana di kenal dengan  OORZAK dan GEVOLG , yaitu suatu hubungan antar sebab dan akibat yang dapat menimbulkan kejadiyan yang  di larang dan di ancam oleh undang-undang. Hubungan antara sebab dan akibat itu dalam undang-undang harus di tentukan apakah akibat yang terjadi di larang oleh undang-undang itu di sebabkan oleh  kelakuan orang yang melakukan ,  sehingga harus terbukti bahwa akibat  itu di sebabkan kelakuan yang bersangkutan atau kelakuan itu menyebabkan akibat yang bersangkutan .
                  Penentuan hubungan kausal ini diperlukan terhadap delict yang dirumuskan secara materiel dan delict yang dikwalisir dengan akibat.Adakalanya terhadap delct formil tertentu diperlukan juga hubungan kausal yang menurut VOS mengkonstatir adanya delict.Teori “conditio sine qua non” yang dikemukakan oleh VON BURI sarjana berkabangsaan jerman, dengan karangannya”Ueber cacausalitat und deren verantwortung” di leipzing 1873.Menurut teori ini,semua syarat yang menyebabkan akibat, dipandang sebagai musabab yang oleh karena itu sebagai sebab dari pada akibat, semua syarat dipandang sebagai musabab untuk terjadinya akibat, sehingga tidak dibedakan mana syarat yang dapat menjadi musabab dan yang mana hanya merupakan syarat belaka  maka ajaran teori ini terlalu luas dan karena menyamakan semua syarat untuk ajaran ini juga di sebut teori equivaleatie. Perbuatan menempatkan pelayan tidur di dapur belakang  kemudian teryata di gigit serangga berbisa dan meninggal maka perbuatan menempatkan pelayan itu di dapur di anggap kausal kematiyan.  Teori conditio sine qua non yang menyamakan antara syarat dan musabab , pada hakekatnya dapat menjadi dasar ajaran kausal dengan membuat perbedaan pola berfikir. Di satu pihak mencari syarat mana yang terpenting untuk terjadinya akibat dan di lain pihak menghargai  tiap – tiap syarat yang secara umum dapat menimbulkan akibat , Kedua pola berfikir ini melahirkan golongan teori yang mengindividualisasi ( mencari syarat yang terpenting) dan yang menggeneralisasi                         ( menyamaratakan syarat ) . 
             Teori yang mengindividualisasi atau di sebut individualiserende theorieen , menetukan syarat mana menurut kenyataan , post factum yaitu setelah peristiwa terjadi, syarat mana yang mempunyai pengaruh terbesar untuk terjadinya akibat :
·         Teori  MEIST WIRKSAME BEDIGUNG , Mengajarkan tentang faktor yang paling aktif dan efektif. Teori ini timbul kesulitan apabila ada dua kuda menarik kereta , kuda manakah yang paling kuat menarik kereta yang bergerak itu.
·         Teori GLEICHGEWICHT , Yaitu musabab adalah syarat yang mendorong ke arah timbulnya akibat ( positieve) jika di bandingkan dengan syarat yang mencegah                      ( negatieve) dengan perkataan lain dapat dikatakan bahwa syarat musabab jika syarat positip itu menetukan di atas syarat yang negatif.
Teori”die art des werdens”ajaran KOHLER merupakan variasi dari BIRKMEYER,yang bukan kwantitatief menurut sifatnya penting menimbulkan akibat.
·         Teori yang menggeneralisasi atau disebut generaliserende theorieen,pertimbangan secara anti factum yg mengambil pendirian pada saat sebelum timbulnya akibat.
·          Teori adequate dari VON KRIES dalam karangannya tentang uber den begriff der obyjektive moglichkeit.Vierteljahrschrift fur wissenschaftliche philosophie xll 1888 sarjana filosoof-fosioloog jerman ini mengajarkan teori tentang musabah adalah serentetan  syarat yang pada umumnya,menurut jalannya kejadian yang normal,dapat menimbulkan akibat.
·          Teori der adequaten Verursachung vom Standpunkte objectivnachtraglitcher prognose dari REMULIN dalam karangannya tentang Die Varwendung der causal begriffe im Straf und Civilrecht.”archive fur die zivilistische praxis XC”1900 yang mengajarkan teori adequate atas peramalan obyektif yaitu dengan mengingat keadaan-keadaan sesudahterjadi akibat (die objectiv-nanchtragliche).
·          Teori  adequate dari TRAEGER dalam karangannya tentang der kausalbegriff im staf und zivilrecht.1904 yang mengajarkan teori seimbang musabah harus dicari dari syarat yang manakah yang seimbang dengan akibat yang timbul.
·         Teori “relevantie”dari MEZGER dalam karangannya tentang “Strafrecht”1931.mengajarkan bahwa dalam menentukan hubungan causal tidak mengadakan perbedaan antara musabab dan syara, melainkan dengan menafrumusan delict yg memuat akibat dilarang itu coba dilarang menemukan yang manakah kiranya yang dimaksud pada waktu undang-undang itu di buat.
                Suatu kesengajaan dapat terjadi karena salah paham atau kekeliruan yang disebut dengan DWALING , diataranya adalah :
a.       Feitelijke dwaling
Jika kekeliruan itu ternyata tidak ada kesengajaan yang ditujukan pada salah satu unsur dari perbuatan pidana, maka perbuatan itu tidak dapat dipidana. Misalnya: Seseorang mengira dengan membayar suatu barang sudah menjadi pemilik dari barang tersebut.
b.      Rechtsdwaling
Melakukan suatu perbuatan dengan perkiraan bahwa hal itu tidak dilarang oleh undang-undang, Didalam Rechtsdwaling dapat dibedakan menjadi, kekeliruan yang dapat dimengerti (vershoonbaredwaling).Misalnya: Orang irian barat yang biasa hidup sebelum tahun 1962, masih telanjang bulat dan kebiasaan itu dilakukan diwilayah lain maka perbuatan itu bisa dimengerti atau mendapatkan konsekuensi sendiri.
c.       Eror in persona
Kekeliruan mengenai orang yang menjadi tujuan dari perbuatan pidana. Misalnya: A hendak membunuh B,oleh karena belum kenal terlalu dekat ternyata yang dibunuh itu adalah C, maka perbuatan itu tidak dapat melepaskan dari tuntutan hukum pidana karena kekeliruan.
d.      Error in objecto
Kekeliruan yang menjadi obyek yang menjadi tujuan dari perbuatan pidana. Misalnya: A melepaskan tembakan yang ditujukan kepada seekor rusa,akan tetapi tembakan itu mengenai seseorang yang dikira rusa dan akhirnya orang tersebut meninggal,maka orang tersebut dikenai perbuatan pidana yang lebih ringan.
e.       Aberratio ictus
Kekeliruan karena aberratio ictus mempunyai corak lain dari error in persona karena orangnya,akan tetapi karena macam-macam sebab perbuatannya menimbulkan akibat yang berlainan dari pada yang dikehendaki, Misalnya:  A hendak membunuh dengan melempar pisau kepada B, akan tetapi tidak mengenainnya dan malah mengenai C yang berada didekatnnya,dan C tersebut meninggal. Kepada A dapat dituntut hukum pidana karena percobaan membunuh B dan juga karena kealpaanya yang menyebabkan matinya orang lain.
Seperti diketahui dalam KUHP dikenal beberapa macam istilah “sengaja”  (opzet) sebagaimana dirumuskan pada tiap-tiap pasal,beberapa istilah itu dapat dipandang sebagai kata lain atau sama artinya dengan istilah sengaja,oleh karena MvT telah menetapkan kata sengaja adalah sama artinya dengan istilah sengaja. Sebagai lawan adalah “dengan maksud untuk” menurut pandangan dalam arti luas kecuali dengan nyata undang-undang menegaskan untuk dalam arti sempit,seperti perubahan yang terjadi di Nederland atas dasar wet 19 juli 1934 S. 405 yang untuk menjamin ketertiban umum terhadap penyiaran dapat dipidana apabila sipembuat mengetahui atau mempunyai alasan untuk menyangka (insyaf atau yang seharusnya insyaf) bahwa tulisan yang disiarkan itu dapat dipidana serta sipembuat berbuat demikian untuk mencari keuntungan. Dipihak lain berpendapat bahwa “dengan maksud untuk” diberikan arti makna yang subyektif dari terdakwa apa yang sesungguhnya dikehendaki olehnya, yang merupakan hubungan antara kehendak terdakwa dengan perbuatannya sebagai arah apa yang dilakukan, dan yang menurut ilmu pengetahuan dinamakan “subtief onrechtselemen” yaitu keadaan batin yang menentukan sifat melawan hukumnya.
§  GRASI

Dalam arti sempit berarti merupakan tindakan meniadakan hukuman yang telah diputuskan oleh hakim. Dengan kata lain, Presiden berhak untuk meniadakan hukuman yang telah dijatuhkan oleh hakim kepada seseorang.
Grasi ampun: Pengampunan wewenang dari kepala negara untuk memberi pengampunan terhadap hukum yangtelah dijatuhkan oleh hakim untuk memghapuskan salahnya,menggantijenis hukuman tambahan grasi oleh kepala negara dengan mempertimbangkan mahkamah agung.

§   AMNESTI

Merupakan suatu pernyataan terhadap orang banyak yang terlibat dalam suatu tindak pidana untuk meniadakan suatu akibat hukum pidana yang timbul dari tindak pidana tersebut. Amnesti ini diberikan kepada orang-orang yang sudah ataupun yang belum dijatuhi hukuman, yang sudah ataupun yang belum diadakan pengusutan atau pemeriksaan terhadap tindak pidana tersebut. Amnesti agak berbeda dengan grasi, abolisi atau rehabilitasi karena amnesti ditujukan kepada orang banyak. Pemberian amnesti yang pernah diberikan oleh suatu negara diberikan terhadap delik yang bersifat politik seperti pemberontakan atau suatu pemogokan kaum buruh yang membawa akibat luas terhadap kepentingan negara.

§  ABOLISI

Merupakan suatu keputusan untuk menghentikan pengusutan dan pemeriksaan suatu perkara, dimana pengadilan belum menjatuhkan keputusan terhadap perkara tersebut. Seorang presiden memberikan abolisi dengan pertimbangan demi alasan umum mengingat perkara yang menyangkut para tersangka tersebut terkait dengan kepentingan negara yang tidak bisa dikorbankan oleh keputusan pengadilan.

§   REHABILITASI
Rehabilitasi merupakan suatu tindakan Presiden dalam rangka mengembalikan hak seseorang yang telah hilang karena suatu keputusan hakim yang ternyata dalam waktu berikutnya terbukti bahwa kesalahan yang telah dilakukan seorang tersangka tidak seberapa dibandingkan dengan perkiraan semula atau bahkan ia ternyata tidak bersalah sama sekali. Fokus rehabilitasi ini terletak pada nilai kehormatan yang diperoleh kembali dan hal ini tidak tergantung kepada Undang-undang tetapi pada pandangan masyarakat sekitarnya

Tidak ada komentar:

Entri Populer