Latar Belakang Perubahan
Keinginan politik untuk mengubah UUD 1945 di era
reformasi didorong oleh pengalaman-pengalaman politik selama menjalankan UUD
itu dalam dua periode, yakni periode yang disebut sebagai Orde Lama (1959-1966)
dan periode yang disebut sebagai Orde Baru (1966-1998). Seperti saya katakan di
awal ceramah ini, UUD 1945 memang dibuat dalam keadaan tergesa-gesa, sehingga
mengandung segi-segi kelemahan, yang memungkinkan munculnya pemerintahan
diktator, baik terang-terangan maupun terselubung, sebagaimana ditunjukkan baik
pada masa Presiden Soekarno maupun Presiden Soeharto. UUD 1945 sebelum
amandemen, memberikan titik berat kekuasaan kepada Presiden. Majelis
Permusyawaratan Rakyat, meskipun disebut sebagai pelaksana kedaulatan rakyat,
dan penjelmaan seluruh rakyat, dalam kenyataannya susunan dan kedudukannya
diserahkan untuk diatur dalam undang-undang. Presiden Soekarno bahkan
mengangkat seluruh anggota MPR tanpa proses Pemilu. Presiden Soeharto telah merekayasa
undang-undang susunan dan kedudukan MPR, sehingga majelis itu tidak berdaya
dalam mengawasi Presiden, dan bahkan tidak dapat melaksanakan tugas dan
kewenangannya secara optimal. UUD 1945 juga mengandung ketidakjelasan mengenai
batas periode masa jabatan Presiden. MPRS pernah mengangkat Presiden Soekarno
sebagai presiden seumur hidup. MPR Orde Baru berkali-kali mengangkat Presiden
Soeharto, sampai akhirnya, atas desakan berbagai pihak, menyatakan berhenti di
era awal reformasi, tanggal 21 Mei 1998. Keinginan untuk menghindari
kediktatoran, baik terbuka maupun terselubung, dan membangun pemerintahan yang
demokratis,
menjadi
latar belakang yang penting yang mendorong proses perubahan UUD 1945 pada era
reformasi Keinginan untuk menata ulang kedudukan lembaga-lembaga negara, agar
terciptanya check and balances? Juga terasa begitu kuatnya. Demikian pula
keinginan untuk memperjuangkan tegaknya hukum dan pengakuan serta perlindungan
terhadap hak asasi manusia. Keinginan untuk memberikan perhatian yang lebih
besar kepada daerahdaerah juga demikian menguat, sehingga kewenangan-kewenangan
Pemerintah Daerah juga perlu diperkuat, untuk mencegah terjadinya disintegrasi.
Pada akhirnya, keinginan yang teguh untuk membangun kesejahteraan rakyat, yang
telah lama menjadi harapan dan impian, terasa demikian menguat pada era
reformasi. Itulah antara lain, latar belakang keinginan dan aspirasi yang
mengiringi perubahan Undang-Undang Dasar 1945. Namun perubahan itu dilaksanakan
oleh
Majelis Permusyawaratan Rakyat hasil Pemilu 1999, yang diikuti oleh
partai-partai politik, baik lama maupun baru, yang ternyata tidak menghasilkan
kekuatan mayoritas. Dalam situasi seperti itu, dapat dipahami jika perumusan
pasalpasal perubahan penuh dengan kompromi-kompromi politik, yang tidak selalu
mudah dipahami dari sudut pandang hukum tata negara. Proses perubahan itu
dipersiapkan oleh Panita Ad Hoc MPR, yang mencerminkan kekuatan fraksifraksi
yang ada di dalamnya. Akhinya terjadilah empat kali perubahan, dalam bentuk
penambahan dan penghapusan ayat-ayat, namun secara keseluruhan, tetap terdiri
atas 37 Pasal, yang secara keseluruhan, ternyata lebih banyak materi muatannya
dari naskah sebelum dilakukan perubahan.
Meskipun terjadi empat kali perubahan, namun semua fraksi yang ada di
MPR sejak awal telah menyepakati untuk tidak mengubah Pembukaan UUD 1945.
Dengan demikian, pikiran-pikiran dasar bernegara sebagaimana termaktub di
dalamnya, tetap seperti semula. Namun implementasi pikiran-pikiran dasar itu ke
dalam struktur ketatanegaraan, sebagaimana akan saya jelaskan nanti, memang
cukup besar. Kesepakatan untuk tidak mengubah Pembukaan ini, memang menunjukkan
keinginan fraksi-fraksi untuk menghindari perdebatan yang bersifat filsafat dan
ideologi, yang nampaknya memetik pelajaran dari sejarah perdebatan, baik dalam
proses penyusunan UUD 1945 di masa pendudukan Jepang maupun
perdebatan-perdebatan yang sama di Konstituante. Dua fraksi, yakni Fraksi
Partai Persatuan Pembangunan dan Fraksi Partai Bulan Bintang memang mengusulkan
perubahan ketentuan Pasal 29 ayat (2) UUD 1945, sebagaimana teks Piagam
Jakarta, khusus yang berkaitan dengan syariat Islam. Namun perubahan itu tidak
mereka tujukan kepada Pembukaan sebagaimana kedudukan awal dari Piagam Jakarta.
Usul perubahan itu kemudian mereka tarik, mengingat kemungkinan gagal
memperoleh kesepakatan. Fraksi PBB menegaskan bahwa mereka menunda
memperjuangkan amandemen Pasal 29 itu sampai tiba saat yang memungkinkan untuk memperjuangkannya.
Perkembangan ide dan gagasan amandemen kembali terhadap UUD
1945, kembali mencuat dikalangan publik. Meski ide dan gagasan ini, merupakan
sesuatu yang sangat mustahil untuk dilaksanakan dan direalisasikan dalam waktu
dekat. Namun, perlu secara terus menerus direspon, guna dikembangkan dan
diapresiasikan lebih jauh dalam rangka mencari dan menata sistem ketatanegaraan
di Indonesia.Selain itu, untuk situasi dan kondisi sekarang diskursus mengenai
wacana amandemen kembali terhadap UUD 1945 bukanlah sesuatu yang dapat dianggap
tabu.
sebelum perubahan UUD
1945, RI menganut prinsip supremasi MPR sebagai salah satu bentuk varian system
supremasi MPR parlemen yangdikenal didunia. Maka paham kedaulatan rakyat
diorganisasikan melalui pelembagaan MPR sebagai lembaga penjelmaan rakyat
Indonesia yang berdaulat yang disalurkan melalui prosedur perwakilan politik
(political representation) melalui DPR, perwakilan daerah (regional
representation) melalui utusan daerah, dan perwakilan fungsional (fungcional
representation) melalui utusan golongan. Ketiga-tiganya dimaksudkan untuk menjamin
agar kepentingan seluruh rakyat yang berdaulat benar-benar tercermin dalam
keanggotaan MPR, sehingga menjadi lembaga tertinggi yang say sebagai penjelmaan
rakyat. Sebagaimana dalam pasal I ayat (2) UUD 1945 “kedaulatan di tangan
rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat”
setelah amandemen ketiga UUD 1945
sebagaimana pasal 1 ayat (2) bahwa “kedaulatan berada ditangan rakyat dan
dilaksanakan berdasarkan undang undang dasar. dengan demikian dengan berdasar
pada UUD 1945 pasca amandemen ke-empat tersebut, maka terdapat delapan buah
organ Negara yang mempunyai kedudukan sederajat yang langsung menerima
kewenangan konstitusi dari UUD, kedelapan organ tersebut adalah;
1. DPRD (dewan perwakilan rakyat daerah)
2. DPD (dewan perwakilan darah)
3. MPR (majelis permusyawaratan rakyat.)
4. BPK (badan pemeriksa keuangan)
5. presiden dan wakil presiden
6. mahkamah agung
7. mahkama konstitusi
8. komisi yudicial
1. DPRD (dewan perwakilan rakyat daerah)
2. DPD (dewan perwakilan darah)
3. MPR (majelis permusyawaratan rakyat.)
4. BPK (badan pemeriksa keuangan)
5. presiden dan wakil presiden
6. mahkamah agung
7. mahkama konstitusi
8. komisi yudicial
Perubahan
Mendasar Di Bidang Ketatanegaraan
Secara umum dapat kita katakan bahwa perubahan
mendasar setelah empat kali amandemen UUD 1945 ialah komposisi dari UUD
tersebut, yang semula terdiri atas Pembukaan, Batang Tubuh dan Penjelasannya,
berubah menjadi hanya terdiri atas Pembukaan dan pasal-pasal. Penjelasan UUD
1945, yang semula ada dan kedudukannya mengandung kontroversi karena tidak
turut disahkan oleh PPKI tanggal 18 Agustus 1945, dihapuskan. Materi yang dikandungnya,
sebagian dimasukkan, diubah dan ada pula yang dirumuskan kembali ke dalam
pasal-pasal amandememan
Perubahan mendasar UUD 1945 setelah empat kali
amandemen, juga berkaitan dengan pelaksana kedaulatan rakyat, dan penjelmaannya
ke dalam lembaga-lembaga negara. Sebelum amandemen, kedaulatan yang berada di
tangan rakyat, dilaksanakan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Majelis yang terdiri atas anggota-anggota DPR ditambah dengan utusan dari
daerah-daerah dan golongan-golongan itu, demikian besar dan luas kewenangannya.
Antara lain mengangkat dan memberhentikan Presiden, menetapkan Garis-garis
Besar Haluan Negara, serta mengubah Undang-Undang Dasar.
Amandemen UUD 1945 memang berusaha untuk mengurangi
kekuasaan yang begitu besar yang berada di tangan Presiden, sebagaimana
diterapkan oleh Presiden Soekarno dan Soeharto. Masa jabatan Presiden dibatasi
hanya dua periode, untuk mencegah terulangnya pemerintahan tanpa batasan yang
jelas seperti di masa lalu. Kewenangan Presiden untuk mengangkat duta dan
menerima duta negara lain, juga dilakukan dengan memperhatikan pertimbangan
DPR. Demikian pula dalam pengangkatan dan pemberhentian Panglima TNI dan
Kapolri, dilakukan Presiden setelah mendapat pertimbangan DPR. Ketentuan yang
terakhir ini, menyebabkan panglima TNI dan Kapolri bukan lagi pejabat setingkat
menteri negara dan menjadi anggota kabinet, karena Presiden telah kehilangan
hak prerogatif untuk mengangkat dan memberhentikan kedua pejabat itu.
Lembaga independent
dalam menjamin kepentingan kekuasaan dan demokratisasi yang lebih efektif maka dibentuk beberapa lembaga-lembaga independent, seperti
1. Tentara NAsional Indonesia (TNI)
2. Kepolisian Negara (polri)
3. Bank Indonesia
4. kejaksaan agung
5. KOMNAS HAM
6. KPU
7. Komisi Ombusdman
8. Komisi Pengawasan dan persaingan Usaha (KPPU)
9. Komisi Pemeriksaan Kekayaan Penyelenggaraan Negara (KPKPN)
10. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPU)
11. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) dan lain sebagainya
dalam menjamin kepentingan kekuasaan dan demokratisasi yang lebih efektif maka dibentuk beberapa lembaga-lembaga independent, seperti
1. Tentara NAsional Indonesia (TNI)
2. Kepolisian Negara (polri)
3. Bank Indonesia
4. kejaksaan agung
5. KOMNAS HAM
6. KPU
7. Komisi Ombusdman
8. Komisi Pengawasan dan persaingan Usaha (KPPU)
9. Komisi Pemeriksaan Kekayaan Penyelenggaraan Negara (KPKPN)
10. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPU)
11. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) dan lain sebagainya
A.
PENDAHULUAN
Sistem
ketatanegaraan kita pasca amandemen UUD 1945, sesungguhnya mengandung dimensi
yang sangat luas, yang tidak saja berkaitan dengan hukum tata negara, tetapi
juga bidang-bidang hukum yang lain, seperti hukum administrasi, hak asasi
manusia dan lain-lan. Dimensi perubahan itu juga menyentuh tatanan kehidupan
politik di tanah air, serta membawa implikasi perubahan yang cukup besar di
bidang sosial, politik, ekonomi, pertahanan, dan hubungan internasional.
Tentu
semua cakupan masalah yang begitu luas, tidak dapat saya ketengahkan dalam
ceramah yang singkat ini.Ceramah ini hanya akan menyoroti beberapa aspek
perubahan konstitusi dan pengaruhnya terhadap lembaga-lembaga negara, yang
menjadi ruang lingkup kajian hukum tata negara. Terkait dengan hal itu, saya
tentu harus menjelaskan sedikit latar belakang sejarah, gagasan dan hasil-hasil
perubahan, yang menunjukkan adanya perbedaan-perbedaan dengan UUD 1945 sebelum amandemen.
Saya ingin pula mengetengahkan serba sedikit analisis, tentang kelemahan
kelemahan UUD 1945 pasca amandemen, untuk menjadi bahan telaah lebih mendalam,
dan mungkin pula dapat
dijadikan sebagai bahan
pertimbangan bagi penyempurnaan UUD 1945 pasca amandemen.
Konsep Negara Hukum (Rechtsstaat), mempunyai karakteristik sebagai berikut:
Konsep Negara Hukum (Rechtsstaat), mempunyai karakteristik sebagai berikut:
- Penyelenggaraan
negara berdasar Konstitusi.
- Kekuasaan
Kehakiman yang merdeka.
- Penghormatan
terhadap Hak Asasi Manusia.
- Kekuasaan
yang dijalankan berdasarkan atas prinsip bahwa pemerintahan, tindakan dan
kebijakannya harus berdasarkan ketentuan hukum (due process of law ).
UUD
1945 –> Sistem Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman –> Lembaga Negara dan
Organ yang Menyelenggarakan Kekuasaan Negara.
B. DASAR PEMIKIRAN DAN LATAR BELAKANG PERUBAHAN UUD 1945
- Undang-Undang
Dasar 1945 membentuk struktur ketatanegaraan yang bertumpu pada kekuasaan
tertinggi di tangan MPR yang sepenuhnya melaksanakan kedaulatan rakyat.
Hal ini berakibat pada tidak terjadinya checks and balances
pada institusi-institusi ketatanegaraan.
- Undang-Undang
Dasar 1945 memberikan kekuasaan yang sangat besar kepada pemegang
kekuasaan eksekutif (Presiden). Sistem yang dianut UUD 1945 adalah executive
heavy yakni kekuasaan dominan berada di tangan Presiden dilengkapi
dengan berbagai hak konstitusional yang lazim disebut hak prerogatif
(antara lain: memberi grasi, amnesti, abolisi dan rehabilitasi) dan
kekuasaan legislatif karena memiliki kekuasan membentuk Undang-undang.
- UUD
1945 mengandung pasal-pasal yang terlalu “luwes” dan “fleksibel” sehingga
dapat menimbulkan lebih dari satu penafsiran (multitafsir), misalnya Pasal
7 UUD 1945 (sebelum di amandemen).
- UUD
1945 terlalu banyak memberi kewenangan kepada kekuasaan Presiden untuk
mengatur hal-hal penting dengan Undang-undang. Presiden juga memegang
kekuasaan legislatif sehingga Presiden dapat merumuskan hal-hal penting
sesuai kehendaknya dalam Undang-undang.
- Rumusan
UUD 1945 tentang semangat penyelenggaraan negara belum cukup didukung
ketentuan konstitusi yang memuat aturan dasar tentang kehidupan yang
demokratis, supremasi hukum, pemberdayaan rakyat, penghormatan hak asasi
manusia dan otonomi daerah. Hal ini membuka peluang bagi berkembangnya
praktek penyelengaraan negara yang tidak sesuai dengan Pembukaan UUD 1945,
antara lain sebagai berikut:
a. Tidak adanya check and balances antar lembaga negara dan kekuasaan terpusat pada presiden.
b. Infra struktur yang dibentuk, antara lain partai politik dan organisasi masyarakat.
c. Pemilihan Umum (Pemilu) diselenggarakan untuk memenuhi persyaratan demokrasi formal karena seluruh proses tahapan pelaksanaannya dikuasai oleh pemerintah.
d. Kesejahteraan sosial berdasarkan Pasal 33 UUD 1945 tidak tercapai, justru yang berkembang adalah sistem monopoli dan oligopoli.
C. HIERARKI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Menurut TAP MPRS XX Tahun 1966:
- UUD
1945
- TAP
MPR
- UU/PERPU
- Peraturan
Pemerintah
- Keputusan
Presiden
- Peraturan
Menteri
- Instruksi
Menteri
Menurut TAP MPR III Tahun 2000:
- UUD
1945
- TAP
MPR
- UU
- PERPU
- PP
- Keputusan
Presiden
- Peraturan
Daerah
Menurut UU No. 10 Tahun 2004:
- UUD
1945
- UU/PERPU
- Peraturan
Pemerintah
- Peraturan
Presiden
- Peraturan
Daerah
D. KESEPAKATAN PANITIA AD HOC TENTANG PERUBAHAN UUD 1945
- Tidak
mengubah Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, sistematika, aspek
kesejarahan dan orisinalitasnya.
- Tetap
mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
- Mempertegas
Sistem Pemerintahan Presidensial.
- Penjelasan
UUD 1945 ditiadakan serta hal-hal normatif dalam penjelasan dimasukkan
dalam pasal-pasal.
- Perubahan
dilakukan dengan cara “adendum”.
E. LEMBAGA NEGARA DAN SISTEM PENYELENGGARAAN KEKUASAAN
NEGARA SEBELUM PERUBAHAN UUD 1945
Deskripsi Singkat Struktur Ketatanegaraan RI Sebelum
Amandemen UUD 1945:
Undang-Undang Dasar merupakan hukum tertinggi, kemudian kedaulatan rakyat diberikan seluruhnya kepada MPR (Lembaga Tertinggi). MPR mendistribusikan kekuasaannya (distribution of power) kepada 5 Lembaga Tinggi yang sejajar kedudukannya, yaitu Mahkamah Agung (MA), Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Pertimbangan Agung (DPA) dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Undang-Undang Dasar merupakan hukum tertinggi, kemudian kedaulatan rakyat diberikan seluruhnya kepada MPR (Lembaga Tertinggi). MPR mendistribusikan kekuasaannya (distribution of power) kepada 5 Lembaga Tinggi yang sejajar kedudukannya, yaitu Mahkamah Agung (MA), Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Pertimbangan Agung (DPA) dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
MPR
- Sebagai
Lembaga Tertinggi Negara diberi kekuasaan tak terbatas (super power)
karena “kekuasaan ada di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR”
dan MPR adalah “penjelmaan dari seluruh rakyat Indonesia” yang berwenang
menetapkan UUD, GBHN, mengangkat presiden dan wakil presiden.
- Susunan
keanggotaannya terdiri dari anggota DPR dan utusan daerah serta utusan
golongan yang diangkat.
Dalam
praktek ketatanegaraan, MPR pernah menetapkan antara lain:
- Presiden,
sebagai presiden seumur hidup.
- Presiden
yang dipilih secara terus menerus sampai 7 (tujuh) kali berturut turut.
- Memberhentikan
sebagai pejabat presiden.
- Meminta
presiden untuk mundur dari jabatannya.
- Tidak
memperpanjang masa jabatan sebagai presiden.
- Lembaga
Negara yang paling mungkin menandingi MPR adalah Presiden, yaitu dengan
memanfaatkan kekuatan partai politik yang paling banyak menduduki kursi di
MPR.
PRESIDEN
- Presiden
memegang posisi sentral dan dominan sebagai mandataris MPR, meskipun
kedudukannya tidak “neben” akan tetapi “untergeordnet”.
- Presiden
menjalankan kekuasaan pemerintahan negara tertinggi (consentration of
power and responsiblity upon the president).
- Presiden
selain memegang kekuasaan eksekutif (executive power), juga
memegang kekuasaan legislative (legislative power) dan kekuasaan
yudikatif (judicative power).
- Presiden
mempunyai hak prerogatif yang sangat besar.
- Tidak
ada aturan mengenai batasan periode seseorang dapat menjabat sebagai
presiden serta mekanisme pemberhentian presiden dalam masa jabatannya.
DPR
- Memberikan
persetujuan atas RUU yang diusulkan presiden.
- Memberikan
persetujuan atas PERPU.
- Memberikan
persetujuan atas Anggaran.
- Meminta
MPR untuk mengadakan sidang istimewa guna meminta pertanggungjawaban
presiden.
DPA DAN BPK
- Di samping
itu, UUD 1945 tidak banyak mengintrodusir lembaga-lembaga negara lain
seperti DPA dan BPK dengan memberikan kewenangan yang sangat minim.
F. LEMBAGA NEGARA DAN SISTEM PENYELENGGARAAN KEKUASAAN
NEGARA SESUDAH PERUBAHAN UUD 1945
Deskripsi Struktur Ketatanegaraan RI “Setelah” Amandemen UUD
1945:
Undang-Undang Dasar merupakan hukum tertinggi dimana kedaulatan berada di tangan rakyat dan dijalankan sepenuhnya menurut UUD. UUD memberikan pembagian kekuasaan (separation of power) kepada 6 Lembaga Negara dengan kedudukan yang sama dan sejajar, yaitu Presiden, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Mahkamah Agung (MA), dan Mahkamah Konstitusi (MK).
Undang-Undang Dasar merupakan hukum tertinggi dimana kedaulatan berada di tangan rakyat dan dijalankan sepenuhnya menurut UUD. UUD memberikan pembagian kekuasaan (separation of power) kepada 6 Lembaga Negara dengan kedudukan yang sama dan sejajar, yaitu Presiden, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Mahkamah Agung (MA), dan Mahkamah Konstitusi (MK).
Perubahan (Amandemen) UUD 1945:
- Mempertegas
prinsip negara berdasarkan atas hukum [Pasal 1 ayat (3)] dengan
menempatkan kekuasaan kehakiman sebagai kekuasaan yang merdeka,
penghormatan kepada hak asasi manusia serta kekuasaan yang dijalankan atas
prinsip due process of law.
- Mengatur
mekanisme pengangkatan dan pemberhentian para pejabat negara, seperti
Hakim.
- Sistem
konstitusional berdasarkan perimbangan kekuasaan (check and balances)
yaitu setiap kekuasaan dibatasi oleh Undang-undang berdasarkan fungsi
masing-masing.
- Setiap
lembaga negara sejajar kedudukannya di bawah UUD 1945.
- Menata
kembali lembaga-lembaga negara yang ada serta membentuk beberapa lembaga
negara baru agar sesuai dengan sistem konstitusional dan prinsip negara
berdasarkan hukum.
- Penyempurnaan
pada sisi kedudukan dan kewenangan maing-masing lembaga negara disesuaikan
dengan perkembangan negara demokrasi modern.
MPR
- Lembaga
tinggi negara sejajar kedudukannya dengan lembaga tinggi negara lainnya
seperti Presiden, DPR, DPD, MA, MK, BPK.
- Menghilangkan
supremasi kewenangannya.
- Menghilangkan
kewenangannya menetapkan GBHN.
- Menghilangkan
kewenangannya mengangkat Presiden (karena presiden dipilih secara langsung
melalui pemilu).
- Tetap
berwenang menetapkan dan mengubah UUD.
- Susunan
keanggotaanya berubah, yaitu terdiri dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat
dan angota Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih secara langsung melalui
pemilu.
DPR
- Posisi
dan kewenangannya diperkuat.
- Mempunyai
kekuasan membentuk UU (sebelumnya ada di tangan presiden, sedangkan DPR
hanya memberikan persetujuan saja) sementara pemerintah berhak mengajukan
RUU.
- Proses
dan mekanisme membentuk UU antara DPR dan Pemerintah.
- Mempertegas
fungsi DPR, yaitu: fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi
pengawasan sebagai mekanisme kontrol antar lembaga negara.
DPD
- Lembaga
negara baru sebagai langkah akomodasi bagi keterwakilan kepentingan daerah
dalam badan perwakilan tingkat nasional setelah ditiadakannya utusan
daerah dan utusan golongan yang diangkat sebagai anggota MPR.
- Keberadaanya
dimaksudkan untuk memperkuat kesatuan Negara Republik Indonesia.
- Dipilih
secara langsung oleh masyarakat di daerah melalui pemilu.
- Mempunyai
kewenangan mengajukan dan ikut membahas RUU yang berkaitan dengan otonomi
daerah, hubungan pusat dan daerah, RUU lain yang berkait dengan
kepentingan daerah.
BPK
- Anggota
BPK dipilih DPR dengan memperhatikan pertimbangan DPD.
- Berwenang
mengawasi dan memeriksa pengelolaan keuangan negara (APBN) dan daerah
(APBD) serta menyampaikan hasil pemeriksaan kepada DPR dan DPD dan
ditindaklanjuti oleh aparat penegak hukum.
- Berkedudukan
di ibukota negara dan memiliki perwakilan di setiap provinsi.
- Mengintegrasi
peran BPKP sebagai instansi pengawas internal departemen yang bersangkutan
ke dalam BPK.
PRESIDEN
- Membatasi
beberapa kekuasaan presiden dengan memperbaiki tata cara pemilihan dan
pemberhentian presiden dalam masa jabatannya serta memperkuat sistem
pemerintahan presidensial.
- Kekuasaan
legislatif sepenuhnya diserahkan kepada DPR.
- Membatasi
masa jabatan presiden maksimum menjadi dua periode saja.
- Kewenangan
pengangkatan duta dan menerima duta harus memperhatikan pertimbangan DPR.
- Kewenangan
pemberian grasi, amnesti dan abolisi harus memperhatikan pertimbangan DPR.
- Memperbaiki
syarat dan mekanisme pengangkatan calon presiden dan wakil presiden
menjadi dipilih secara langsung oleh rakyat melui pemilu, juga mengenai
pemberhentian jabatan presiden dalam masa jabatannya.
MAHKAMAH AGUNG
- Lembaga
negara yang melakukan kekuasaan kehakiman, yaitu kekuasaan yang
menyelenggarakan peradilan untuk menegakkan hukum dan keadilan [Pasal 24
ayat (1)].
- Berwenang
mengadili pada tingkat kasasi, menguji peaturan perundang-undangan di
bawah Undang-undang dan wewenang lain yang diberikan Undang-undang.
- Di
bawahnya terdapat badan-badan peradilan dalam lingkungan Peradilan Umum,
lingkungan Peradilan Agama, lingkungan Peradilan militer dan lingkungan
Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN).
- Badan-badan
lain yang yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam
Undang-undang seperti : Kejaksaan, Kepolisian, Advokat/Pengacara dan
lain-lain.
MAHKAMAH KONSTITUSI
- Keberadaanya
dimaksudkan sebagai penjaga kemurnian konstitusi (the guardian of the
constitution).
- Mempunyai
kewenangan: Menguji UU terhadap UUD, Memutus sengketa kewenangan antar
lembaga negara, memutus pembubaran partai politik, memutus sengketa hasil
pemilu dan memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan
pelanggaran oleh presiden dan atau wakil presiden menurut UUD.
- Hakim
Konstitusi terdiri dari 9 orang yang diajukan masing-masing oleh Mahkamah
Agung, DPR dan pemerintah dan ditetapkan oleh Presiden, sehingga
mencerminkan perwakilan dari 3 cabang kekuasaan negara yaitu yudikatif,
legislatif, dan eksekutif.
PENUTUP
Saya telah menguraikan perubahan-perubahan mendasar
sistem ketatanegaraan kita pascaamandemen UUD 1945.Penerapan perubahan itu,
baik dalam merumuskan undang-undang pelaksanaanya, maupun penerapannya dalam praktik,
tidaklah mudah. Sebagian besar undang-undang pelaksanaannya, kecuali
undang-undang tentang kementerian negara seperti saya katakan tadi, telah
selesai disusun. Namun, masih mengandung banyak kelemahan dan kekurangan,
sehingga perlu untuk terus-menerus disempurnakan. Kesulitan merumuskan
undang-undang pelaksanaannya itu, seringkali pula disebabkan oleh
ketidakjelasan rumusan pasal-pasal UUD 1945 pasca amandemen. Bahasa yang
digunakan kerapkali bukan bahasa hukum, seperti istilah tindak pidana berat?
dan “perbuatan tercela? yang dapat dijadikan sebagai alasan impeachment kepada
Presiden dan Wakil Presiden. Sistematika perumusan pasal-pasal juga menyulitkan
penafsiran sistematis. Hal ini disebabkan oleh keengganan MPR untuk menambah
jumlah pasal UUD 1945, dan merumuskan ulang seluruh hasil amandemen itu secara
sistematis. Tentu saja penerapan dan pelaksanaan sebuah undang-undang dasar
akan sangat dipengaruhi oleh situasi perkembangan zaman, serta kedewasaan
bernegara para pelaksananya. Adanya semangat para penyelenggara Negara yang
benar-benar berjiwa kenegerawanan, sangatlah mutlak diperlukan untuk mengatasi
kekurangan dan kelemahan rumusan sebuah undang-undang dasar. Tanpa itu,
undang-undang dasar yang baik dan sempurna pun, dapat diselewengkan ke arah
yang berlawanan. Namun, apapun juga, amandemen konstitusi itu telah terjadi,
dan menjadi bagian sejarah perjalanan bangsa ke depan. Saya hanya berharap,
semoga perubahan itu membawa perjalanan bangsa dan negara kita ke arah yang
lebih baik.
Penulis : Ferlion Bernata
1 komentar:
Baik tdk secara keseluruhan saya membaca artikelnya tp saya hanya membaca dr kesimpulan saja menurut pendapat saya, untuk apa negara RI selalu merubah sistem ketatanegaraan RI kalau tidak ada dampak nya bagi masyarakat kita, UUD telah mengalami 4 x perubahan tp apa dampaknya bagi masyarakat kita contoh saja 4 kali perubahan atas konstitusi kita pasal 34 UUD blm secara keseluruhan terlaksana masih banyak fakir miskin yg tidak di peliara oleh Negara bahkan hak2 dr rakyat kecil di Korupsi oleh pejabat2 kita, boleh2 saja menurut saya sistem ketatanegraan kita di rubah sesuai dengan zaman tp kan hrus memberi efek ke masyarakat kita, contoh saja banyak UU yg di undangkan dan banyak sekali peraturan yg mengatur masyarakat kita tp apa dampaknya malah banyak ketidak adilan yg dirasakan masyarakat kita.
Posting Komentar