SELAMAT DATANG DIBLOG ferlionbernata.blogspot.com

Jumat, Maret 23, 2012

PERUBAHAN SISTEM KETATANEGARAAN RI


Latar Belakang Perubahan

Keinginan politik untuk mengubah UUD 1945 di era reformasi didorong oleh pengalaman-pengalaman politik selama menjalankan UUD itu dalam dua periode, yakni periode yang disebut sebagai Orde Lama (1959-1966) dan periode yang disebut sebagai Orde Baru (1966-1998). Seperti saya katakan di awal ceramah ini, UUD 1945 memang dibuat dalam keadaan tergesa-gesa, sehingga mengandung segi-segi kelemahan, yang memungkinkan munculnya pemerintahan diktator, baik terang-terangan maupun terselubung, sebagaimana ditunjukkan baik pada masa Presiden Soekarno maupun Presiden Soeharto. UUD 1945 sebelum amandemen, memberikan titik berat kekuasaan kepada Presiden. Majelis Permusyawaratan Rakyat, meskipun disebut sebagai pelaksana kedaulatan rakyat, dan penjelmaan seluruh rakyat, dalam kenyataannya susunan dan kedudukannya diserahkan untuk diatur dalam undang-undang. Presiden Soekarno bahkan mengangkat seluruh anggota MPR tanpa proses Pemilu. Presiden Soeharto telah merekayasa undang-undang susunan dan kedudukan MPR, sehingga majelis itu tidak berdaya dalam mengawasi Presiden, dan bahkan tidak dapat melaksanakan tugas dan kewenangannya secara optimal. UUD 1945 juga mengandung ketidakjelasan mengenai batas periode masa jabatan Presiden. MPRS pernah mengangkat Presiden Soekarno sebagai presiden seumur hidup. MPR Orde Baru berkali-kali mengangkat Presiden Soeharto, sampai akhirnya, atas desakan berbagai pihak, menyatakan berhenti di era awal reformasi, tanggal 21 Mei 1998. Keinginan untuk menghindari kediktatoran, baik terbuka maupun terselubung, dan membangun pemerintahan yang demokratis,
menjadi latar belakang yang penting yang mendorong proses perubahan UUD 1945 pada era reformasi Keinginan untuk menata ulang kedudukan lembaga-lembaga negara, agar terciptanya check and balances? Juga terasa begitu kuatnya. Demikian pula keinginan untuk memperjuangkan tegaknya hukum dan pengakuan serta perlindungan terhadap hak asasi manusia. Keinginan untuk memberikan perhatian yang lebih besar kepada daerahdaerah juga demikian menguat, sehingga kewenangan-kewenangan Pemerintah Daerah juga perlu diperkuat, untuk mencegah terjadinya disintegrasi. Pada akhirnya, keinginan yang teguh untuk membangun kesejahteraan rakyat, yang telah lama menjadi harapan dan impian, terasa demikian menguat pada era reformasi. Itulah antara lain, latar belakang keinginan dan aspirasi yang mengiringi perubahan Undang-Undang Dasar 1945. Namun perubahan itu dilaksanakan
oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat hasil Pemilu 1999, yang diikuti oleh partai-partai politik, baik lama maupun baru, yang ternyata tidak menghasilkan kekuatan mayoritas. Dalam situasi seperti itu, dapat dipahami jika perumusan pasalpasal perubahan penuh dengan kompromi-kompromi politik, yang tidak selalu mudah dipahami dari sudut pandang hukum tata negara. Proses perubahan itu dipersiapkan oleh Panita Ad Hoc MPR, yang mencerminkan kekuatan fraksifraksi yang ada di dalamnya. Akhinya terjadilah empat kali perubahan, dalam bentuk penambahan dan penghapusan ayat-ayat, namun secara keseluruhan, tetap terdiri atas 37 Pasal, yang secara keseluruhan, ternyata lebih banyak materi muatannya dari naskah sebelum dilakukan perubahan.  Meskipun terjadi empat kali perubahan, namun semua fraksi yang ada di MPR sejak awal telah menyepakati untuk tidak mengubah Pembukaan UUD 1945. Dengan demikian, pikiran-pikiran dasar bernegara sebagaimana termaktub di dalamnya, tetap seperti semula. Namun implementasi pikiran-pikiran dasar itu ke dalam struktur ketatanegaraan, sebagaimana akan saya jelaskan nanti, memang cukup besar. Kesepakatan untuk tidak mengubah Pembukaan ini, memang menunjukkan keinginan fraksi-fraksi untuk menghindari perdebatan yang bersifat filsafat dan ideologi, yang nampaknya memetik pelajaran dari sejarah perdebatan, baik dalam proses penyusunan UUD 1945 di masa pendudukan Jepang maupun perdebatan-perdebatan yang sama di Konstituante. Dua fraksi, yakni Fraksi Partai Persatuan Pembangunan dan Fraksi Partai Bulan Bintang memang mengusulkan perubahan ketentuan Pasal 29 ayat (2) UUD 1945, sebagaimana teks Piagam Jakarta, khusus yang berkaitan dengan syariat Islam. Namun perubahan itu tidak mereka tujukan kepada Pembukaan sebagaimana kedudukan awal dari Piagam Jakarta. Usul perubahan itu kemudian mereka tarik, mengingat kemungkinan gagal memperoleh kesepakatan. Fraksi PBB menegaskan bahwa mereka menunda memperjuangkan amandemen Pasal 29 itu sampai tiba saat yang memungkinkan untuk memperjuangkannya.
Perkembangan ide dan gagasan amandemen kembali terhadap UUD 1945, kembali mencuat dikalangan publik. Meski ide dan gagasan ini, merupakan sesuatu yang sangat mustahil untuk dilaksanakan dan direalisasikan dalam waktu dekat. Namun, perlu secara terus menerus direspon, guna dikembangkan dan diapresiasikan lebih jauh dalam rangka mencari dan menata sistem ketatanegaraan di Indonesia.Selain itu, untuk situasi dan kondisi sekarang diskursus mengenai wacana amandemen kembali terhadap UUD 1945 bukanlah sesuatu yang dapat dianggap tabu.
sebelum perubahan UUD 1945, RI menganut prinsip supremasi MPR sebagai salah satu bentuk varian system supremasi MPR parlemen yangdikenal didunia. Maka paham kedaulatan rakyat diorganisasikan melalui pelembagaan MPR sebagai lembaga penjelmaan rakyat Indonesia yang berdaulat yang disalurkan melalui prosedur perwakilan politik (political representation) melalui DPR, perwakilan daerah (regional representation) melalui utusan daerah, dan perwakilan fungsional (fungcional representation) melalui utusan golongan. Ketiga-tiganya dimaksudkan untuk menjamin agar kepentingan seluruh rakyat yang berdaulat benar-benar tercermin dalam keanggotaan MPR, sehingga menjadi lembaga tertinggi yang say sebagai penjelmaan rakyat. Sebagaimana dalam pasal I ayat (2) UUD 1945 “kedaulatan di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat”
setelah amandemen ketiga UUD 1945 sebagaimana pasal 1 ayat (2) bahwa “kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan berdasarkan undang undang dasar. dengan demikian dengan berdasar pada UUD 1945 pasca amandemen ke-empat tersebut, maka terdapat delapan buah organ Negara yang mempunyai kedudukan sederajat yang langsung menerima kewenangan konstitusi dari UUD, kedelapan organ tersebut adalah;
1. DPRD (dewan perwakilan rakyat daerah)
2. DPD (dewan perwakilan darah)
3. MPR (majelis permusyawaratan rakyat.)
4. BPK (badan pemeriksa keuangan)
5. presiden dan wakil presiden
6. mahkamah agung
7. mahkama konstitusi
8. komisi yudicial
Perubahan Mendasar Di Bidang Ketatanegaraan
Secara umum dapat kita katakan bahwa perubahan mendasar setelah empat kali amandemen UUD 1945 ialah komposisi dari UUD tersebut, yang semula terdiri atas Pembukaan, Batang Tubuh dan Penjelasannya, berubah menjadi hanya terdiri atas Pembukaan dan pasal-pasal. Penjelasan UUD 1945, yang semula ada dan kedudukannya mengandung kontroversi karena tidak turut disahkan oleh PPKI tanggal 18 Agustus 1945, dihapuskan. Materi yang dikandungnya, sebagian dimasukkan, diubah dan ada pula yang dirumuskan kembali ke dalam pasal-pasal amandememan
Perubahan mendasar UUD 1945 setelah empat kali amandemen, juga berkaitan dengan pelaksana kedaulatan rakyat, dan penjelmaannya ke dalam lembaga-lembaga negara. Sebelum amandemen, kedaulatan yang berada di tangan rakyat, dilaksanakan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat. Majelis yang terdiri atas anggota-anggota DPR ditambah dengan utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan itu, demikian besar dan luas kewenangannya. Antara lain mengangkat dan memberhentikan Presiden, menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara, serta mengubah Undang-Undang Dasar.
Amandemen UUD 1945 memang berusaha untuk mengurangi kekuasaan yang begitu besar yang berada di tangan Presiden, sebagaimana diterapkan oleh Presiden Soekarno dan Soeharto. Masa jabatan Presiden dibatasi hanya dua periode, untuk mencegah terulangnya pemerintahan tanpa batasan yang jelas seperti di masa lalu. Kewenangan Presiden untuk mengangkat duta dan menerima duta negara lain, juga dilakukan dengan memperhatikan pertimbangan DPR. Demikian pula dalam pengangkatan dan pemberhentian Panglima TNI dan Kapolri, dilakukan Presiden setelah mendapat pertimbangan DPR. Ketentuan yang terakhir ini, menyebabkan panglima TNI dan Kapolri bukan lagi pejabat setingkat menteri negara dan menjadi anggota kabinet, karena Presiden telah kehilangan hak prerogatif untuk mengangkat dan memberhentikan kedua pejabat itu.

Lembaga independent
dalam menjamin kepentingan kekuasaan dan demokratisasi yang lebih efektif maka dibentuk beberapa lembaga-lembaga independent, seperti
1. Tentara NAsional Indonesia (TNI)
2. Kepolisian Negara (polri)
3. Bank Indonesia
4. kejaksaan agung
5. KOMNAS HAM
6. KPU
7. Komisi Ombusdman
8. Komisi Pengawasan dan persaingan Usaha (KPPU)
9. Komisi Pemeriksaan Kekayaan Penyelenggaraan Negara (KPKPN)
10. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPU)
11. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) dan lain sebagainya



A.    PENDAHULUAN
Sistem ketatanegaraan kita pasca amandemen UUD 1945, sesungguhnya mengandung dimensi yang sangat luas, yang tidak saja berkaitan dengan hukum tata negara, tetapi juga bidang-bidang hukum yang lain, seperti hukum administrasi, hak asasi manusia dan lain-lan. Dimensi perubahan itu juga menyentuh tatanan kehidupan politik di tanah air, serta membawa implikasi perubahan yang cukup besar di bidang sosial, politik, ekonomi, pertahanan, dan hubungan internasional.
Tentu semua cakupan masalah yang begitu luas, tidak dapat saya ketengahkan dalam ceramah yang singkat ini.Ceramah ini hanya akan menyoroti beberapa aspek perubahan konstitusi dan pengaruhnya terhadap lembaga-lembaga negara, yang menjadi ruang lingkup kajian hukum tata negara. Terkait dengan hal itu, saya tentu harus menjelaskan sedikit latar belakang sejarah, gagasan dan hasil-hasil perubahan, yang menunjukkan adanya perbedaan-perbedaan dengan UUD 1945 sebelum amandemen. Saya ingin pula mengetengahkan serba sedikit analisis, tentang kelemahan kelemahan UUD 1945 pasca amandemen, untuk menjadi bahan telaah lebih mendalam, dan mungkin pula dapat
dijadikan sebagai bahan pertimbangan bagi penyempurnaan UUD 1945 pasca amandemen.

Konsep Negara Hukum (Rechtsstaat), mempunyai karakteristik sebagai berikut:
  • Penyelenggaraan negara berdasar Konstitusi.
  • Kekuasaan Kehakiman yang merdeka.
  • Penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia.
  • Kekuasaan yang dijalankan berdasarkan atas prinsip bahwa pemerintahan, tindakan dan kebijakannya harus berdasarkan ketentuan hukum (due process of law ).
UUD 1945 –> Sistem Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman –> Lembaga Negara dan Organ yang Menyelenggarakan Kekuasaan Negara.


B. DASAR PEMIKIRAN DAN LATAR BELAKANG PERUBAHAN UUD 1945
  1. Undang-Undang Dasar 1945 membentuk struktur ketatanegaraan yang bertumpu pada kekuasaan tertinggi di tangan MPR yang sepenuhnya melaksanakan kedaulatan rakyat. Hal ini berakibat pada tidak terjadinya checks and balances pada institusi-institusi ketatanegaraan.
  2. Undang-Undang Dasar 1945 memberikan kekuasaan yang sangat besar kepada pemegang kekuasaan eksekutif (Presiden). Sistem yang dianut UUD 1945 adalah executive heavy yakni kekuasaan dominan berada di tangan Presiden dilengkapi dengan berbagai hak konstitusional yang lazim disebut hak prerogatif (antara lain: memberi grasi, amnesti, abolisi dan rehabilitasi) dan kekuasaan legislatif karena memiliki kekuasan membentuk Undang-undang.
  3. UUD 1945 mengandung pasal-pasal yang terlalu “luwes” dan “fleksibel” sehingga dapat menimbulkan lebih dari satu penafsiran (multitafsir), misalnya Pasal 7 UUD 1945 (sebelum di amandemen).
  4. UUD 1945 terlalu banyak memberi kewenangan kepada kekuasaan Presiden untuk mengatur hal-hal penting dengan Undang-undang. Presiden juga memegang kekuasaan legislatif sehingga Presiden dapat merumuskan hal-hal penting sesuai kehendaknya dalam Undang-undang.
  5. Rumusan UUD 1945 tentang semangat penyelenggaraan negara belum cukup didukung ketentuan konstitusi yang memuat aturan dasar tentang kehidupan yang demokratis, supremasi hukum, pemberdayaan rakyat, penghormatan hak asasi manusia dan otonomi daerah. Hal ini membuka peluang bagi berkembangnya praktek penyelengaraan negara yang tidak sesuai dengan Pembukaan UUD 1945, antara lain sebagai berikut:
    a. Tidak adanya check and balances antar lembaga negara dan kekuasaan terpusat pada presiden.
    b. Infra struktur yang dibentuk, antara lain partai politik dan organisasi masyarakat.
    c. Pemilihan Umum (Pemilu) diselenggarakan untuk memenuhi persyaratan demokrasi formal karena seluruh proses tahapan pelaksanaannya dikuasai oleh pemerintah.
    d. Kesejahteraan sosial berdasarkan Pasal 33 UUD 1945 tidak tercapai, justru yang berkembang adalah sistem monopoli dan oligopoli.
C. HIERARKI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Menurut TAP MPRS XX Tahun 1966:
  1. UUD 1945
  2. TAP MPR
  3. UU/PERPU
  4. Peraturan Pemerintah
  5. Keputusan Presiden
  6. Peraturan Menteri
  7. Instruksi Menteri
Menurut TAP MPR III Tahun 2000:
  1. UUD 1945
  2. TAP MPR
  3. UU
  4. PERPU
  5. PP
  6. Keputusan Presiden
  7. Peraturan Daerah
Menurut UU No. 10 Tahun 2004:
  1. UUD 1945
  2. UU/PERPU
  3. Peraturan Pemerintah
  4. Peraturan Presiden
  5. Peraturan Daerah


D. KESEPAKATAN PANITIA AD HOC TENTANG PERUBAHAN UUD 1945
  1. Tidak mengubah Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, sistematika, aspek kesejarahan dan orisinalitasnya.
  2. Tetap mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
  3. Mempertegas Sistem Pemerintahan Presidensial.
  4. Penjelasan UUD 1945 ditiadakan serta hal-hal normatif dalam penjelasan dimasukkan dalam pasal-pasal.
  5. Perubahan dilakukan dengan cara “adendum”.
E. LEMBAGA NEGARA DAN SISTEM PENYELENGGARAAN KEKUASAAN NEGARA SEBELUM PERUBAHAN UUD 1945
Deskripsi Singkat Struktur Ketatanegaraan RI Sebelum Amandemen UUD 1945:

Undang-Undang Dasar merupakan hukum tertinggi, kemudian kedaulatan rakyat diberikan seluruhnya kepada MPR (Lembaga Tertinggi). MPR mendistribusikan kekuasaannya (distribution of power) kepada 5 Lembaga Tinggi yang sejajar kedudukannya, yaitu Mahkamah Agung (MA), Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Pertimbangan Agung (DPA) dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
MPR
  • Sebagai Lembaga Tertinggi Negara diberi kekuasaan tak terbatas (super power) karena “kekuasaan ada di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR” dan MPR adalah “penjelmaan dari seluruh rakyat Indonesia” yang berwenang menetapkan UUD, GBHN, mengangkat presiden dan wakil presiden.
  • Susunan keanggotaannya terdiri dari anggota DPR dan utusan daerah serta utusan golongan yang diangkat.
Dalam praktek ketatanegaraan, MPR pernah menetapkan antara lain:
  • Presiden, sebagai presiden seumur hidup.
  • Presiden yang dipilih secara terus menerus sampai 7 (tujuh) kali berturut turut.
  • Memberhentikan sebagai pejabat presiden.
  • Meminta presiden untuk mundur dari jabatannya.
  • Tidak memperpanjang masa jabatan sebagai presiden.
  • Lembaga Negara yang paling mungkin menandingi MPR adalah Presiden, yaitu dengan memanfaatkan kekuatan partai politik yang paling banyak menduduki kursi di MPR.
PRESIDEN
  • Presiden memegang posisi sentral dan dominan sebagai mandataris MPR, meskipun kedudukannya tidak “neben” akan tetapi “untergeordnet”.
  • Presiden menjalankan kekuasaan pemerintahan negara tertinggi (consentration of power and responsiblity upon the president).
  • Presiden selain memegang kekuasaan eksekutif (executive power), juga memegang kekuasaan legislative (legislative power) dan kekuasaan yudikatif (judicative power).
  • Presiden mempunyai hak prerogatif yang sangat besar.
  • Tidak ada aturan mengenai batasan periode seseorang dapat menjabat sebagai presiden serta mekanisme pemberhentian presiden dalam masa jabatannya.
DPR
  • Memberikan persetujuan atas RUU yang diusulkan presiden.
  • Memberikan persetujuan atas PERPU.
  • Memberikan persetujuan atas Anggaran.
  • Meminta MPR untuk mengadakan sidang istimewa guna meminta pertanggungjawaban presiden.
DPA DAN BPK
  • Di samping itu, UUD 1945 tidak banyak mengintrodusir lembaga-lembaga negara lain seperti DPA dan BPK dengan memberikan kewenangan yang sangat minim.
F. LEMBAGA NEGARA DAN SISTEM PENYELENGGARAAN KEKUASAAN NEGARA SESUDAH PERUBAHAN UUD 1945
Deskripsi Struktur Ketatanegaraan RI “Setelah” Amandemen UUD 1945:

Undang-Undang Dasar merupakan hukum tertinggi dimana kedaulatan berada di tangan rakyat dan dijalankan sepenuhnya menurut UUD. UUD memberikan pembagian kekuasaan (separation of power) kepada 6 Lembaga Negara dengan kedudukan yang sama dan sejajar, yaitu Presiden, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Mahkamah Agung (MA), dan Mahkamah Konstitusi (MK).
Perubahan (Amandemen) UUD 1945:
  • Mempertegas prinsip negara berdasarkan atas hukum [Pasal 1 ayat (3)] dengan menempatkan kekuasaan kehakiman sebagai kekuasaan yang merdeka, penghormatan kepada hak asasi manusia serta kekuasaan yang dijalankan atas prinsip due process of law.
  • Mengatur mekanisme pengangkatan dan pemberhentian para pejabat negara, seperti Hakim.
  • Sistem konstitusional berdasarkan perimbangan kekuasaan (check and balances) yaitu setiap kekuasaan dibatasi oleh Undang-undang berdasarkan fungsi masing-masing.
  • Setiap lembaga negara sejajar kedudukannya di bawah UUD 1945.
  • Menata kembali lembaga-lembaga negara yang ada serta membentuk beberapa lembaga negara baru agar sesuai dengan sistem konstitusional dan prinsip negara berdasarkan hukum.
  • Penyempurnaan pada sisi kedudukan dan kewenangan maing-masing lembaga negara disesuaikan dengan perkembangan negara demokrasi modern.


MPR
  • Lembaga tinggi negara sejajar kedudukannya dengan lembaga tinggi negara lainnya seperti Presiden, DPR, DPD, MA, MK, BPK.
  • Menghilangkan supremasi kewenangannya.
  • Menghilangkan kewenangannya menetapkan GBHN.
  • Menghilangkan kewenangannya mengangkat Presiden (karena presiden dipilih secara langsung melalui pemilu).
  • Tetap berwenang menetapkan dan mengubah UUD.
  • Susunan keanggotaanya berubah, yaitu terdiri dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan angota Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih secara langsung melalui pemilu.
DPR
  • Posisi dan kewenangannya diperkuat.
  • Mempunyai kekuasan membentuk UU (sebelumnya ada di tangan presiden, sedangkan DPR hanya memberikan persetujuan saja) sementara pemerintah berhak mengajukan RUU.
  • Proses dan mekanisme membentuk UU antara DPR dan Pemerintah.
  • Mempertegas fungsi DPR, yaitu: fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan sebagai mekanisme kontrol antar lembaga negara.
DPD
  • Lembaga negara baru sebagai langkah akomodasi bagi keterwakilan kepentingan daerah dalam badan perwakilan tingkat nasional setelah ditiadakannya utusan daerah dan utusan golongan yang diangkat sebagai anggota MPR.
  • Keberadaanya dimaksudkan untuk memperkuat kesatuan Negara Republik Indonesia.
  • Dipilih secara langsung oleh masyarakat di daerah melalui pemilu.
  • Mempunyai kewenangan mengajukan dan ikut membahas RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, RUU lain yang berkait dengan kepentingan daerah.
BPK
  • Anggota BPK dipilih DPR dengan memperhatikan pertimbangan DPD.
  • Berwenang mengawasi dan memeriksa pengelolaan keuangan negara (APBN) dan daerah (APBD) serta menyampaikan hasil pemeriksaan kepada DPR dan DPD dan ditindaklanjuti oleh aparat penegak hukum.
  • Berkedudukan di ibukota negara dan memiliki perwakilan di setiap provinsi.
  • Mengintegrasi peran BPKP sebagai instansi pengawas internal departemen yang bersangkutan ke dalam BPK.
PRESIDEN
  • Membatasi beberapa kekuasaan presiden dengan memperbaiki tata cara pemilihan dan pemberhentian presiden dalam masa jabatannya serta memperkuat sistem pemerintahan presidensial.
  • Kekuasaan legislatif sepenuhnya diserahkan kepada DPR.
  • Membatasi masa jabatan presiden maksimum menjadi dua periode saja.
  • Kewenangan pengangkatan duta dan menerima duta harus memperhatikan pertimbangan DPR.
  • Kewenangan pemberian grasi, amnesti dan abolisi harus memperhatikan pertimbangan DPR.
  • Memperbaiki syarat dan mekanisme pengangkatan calon presiden dan wakil presiden menjadi dipilih secara langsung oleh rakyat melui pemilu, juga mengenai pemberhentian jabatan presiden dalam masa jabatannya.
MAHKAMAH AGUNG
  • Lembaga negara yang melakukan kekuasaan kehakiman, yaitu kekuasaan yang menyelenggarakan peradilan untuk menegakkan hukum dan keadilan [Pasal 24 ayat (1)].
  • Berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peaturan perundang-undangan di bawah Undang-undang dan wewenang lain yang diberikan Undang-undang.
  • Di bawahnya terdapat badan-badan peradilan dalam lingkungan Peradilan Umum, lingkungan Peradilan Agama, lingkungan Peradilan militer dan lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN).
  • Badan-badan lain yang yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam Undang-undang seperti : Kejaksaan, Kepolisian, Advokat/Pengacara dan lain-lain.
MAHKAMAH KONSTITUSI
  • Keberadaanya dimaksudkan sebagai penjaga kemurnian konstitusi (the guardian of the constitution).
  • Mempunyai kewenangan: Menguji UU terhadap UUD, Memutus sengketa kewenangan antar lembaga negara, memutus pembubaran partai politik, memutus sengketa hasil pemilu dan memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh presiden dan atau wakil presiden menurut UUD.
  • Hakim Konstitusi terdiri dari 9 orang yang diajukan masing-masing oleh Mahkamah Agung, DPR dan pemerintah dan ditetapkan oleh Presiden, sehingga mencerminkan perwakilan dari 3 cabang kekuasaan negara yaitu yudikatif, legislatif, dan eksekutif.

PENUTUP

Saya telah menguraikan perubahan-perubahan mendasar sistem ketatanegaraan kita pascaamandemen UUD 1945.Penerapan perubahan itu, baik dalam merumuskan undang-undang pelaksanaanya, maupun penerapannya dalam praktik, tidaklah mudah. Sebagian besar undang-undang pelaksanaannya, kecuali undang-undang tentang kementerian negara seperti saya katakan tadi, telah selesai disusun. Namun, masih mengandung banyak kelemahan dan kekurangan, sehingga perlu untuk terus-menerus disempurnakan. Kesulitan merumuskan undang-undang pelaksanaannya itu, seringkali pula disebabkan oleh ketidakjelasan rumusan pasal-pasal UUD 1945 pasca amandemen. Bahasa yang digunakan kerapkali bukan bahasa hukum, seperti istilah tindak pidana berat? dan “perbuatan tercela? yang dapat dijadikan sebagai alasan impeachment kepada Presiden dan Wakil Presiden. Sistematika perumusan pasal-pasal juga menyulitkan penafsiran sistematis. Hal ini disebabkan oleh keengganan MPR untuk menambah jumlah pasal UUD 1945, dan merumuskan ulang seluruh hasil amandemen itu secara sistematis. Tentu saja penerapan dan pelaksanaan sebuah undang-undang dasar akan sangat dipengaruhi oleh situasi perkembangan zaman, serta kedewasaan bernegara para pelaksananya. Adanya semangat para penyelenggara Negara yang benar-benar berjiwa kenegerawanan, sangatlah mutlak diperlukan untuk mengatasi kekurangan dan kelemahan rumusan sebuah undang-undang dasar. Tanpa itu, undang-undang dasar yang baik dan sempurna pun, dapat diselewengkan ke arah yang berlawanan. Namun, apapun juga, amandemen konstitusi itu telah terjadi, dan menjadi bagian sejarah perjalanan bangsa ke depan. Saya hanya berharap, semoga perubahan itu membawa perjalanan bangsa dan negara kita ke arah yang lebih baik.


                                                                                                           



                                                                                                                  Penulis : Ferlion Bernata

Antara Kebijakan Pemerintah dengan Pembodohan BLT (bantuan langsung tunai)





Setelah sekian lama kita tidak mendengar tentang BLT bai dimedia elektronik maupun di media massa akan tetapi sekarang akibat dari kebijakan pemerintah yang telah mengambil suatu keputusan dengan alasan bahwa BLT sangat penting bagi masyarakat miskin apa sich sebenarnya BLT adalah singkatan dari Bantuan Langsung Tunai, merupakan suatu program dari pemerintah yang bertujuan untuk mengangkat perekonomian rakyat kurang mampu (tidak enak kalau menggunakan kata miskin) dan lebih membutuhkan dengan alasan bahwa untuk mensejahterahkan masyarakat, kebijakan pemerintah sangatlah tidak rasional dengan banyaknya masyaraakt yang kurang mampu mengalami busung lapar di berbagai daerah seperti dibagian wilayah timur banyak masyarakat yang tidak mendapatkan BLT yang dijanjikan oleh pemerintah kepada masyarakat pada jilid I (satu).
Setelah apa yang diperdebatkan  antara kebijakan dengan pembodohan terhadap BLT Kepada masyarakat di dewan perwakilan rakyat itu sangatlah tidak baik karena sering di identifikasi dengan kekuasaan terhadap kepentingan para elit politik baik itu mulai dari pencitraan nama baik individu maupun nama kelompok mengatas namakan rakyat, sebab dengan pertentangan ini banyak hal yang itu seharusnya tidak perlu diselesaikan secara panjang karena akan menyebabkan pemikiran masyarakat bahwa mereka Cuma sebagai korban dan alat dari sebuah kebijakan yang diambil pemerintah dengan alasan bahwa perekonomian APBN sangat melemah dan melemahnya juga perekonomian dieropa-eropa.
Lalu, sampai kapan pemerintah akan melakukan BLT? Kalau memang status mereka menjadi tidak miskin ditentukan oleh BLT yang diterimanya, maka ketika tidak ada lagi program BLT (seperti yang baru saja diumumkan oleh pemerintah), maka mereka akan segera jatuh ke kelompok miskin, dan akan menambah angka kemiskinan nasional. Logikanya kalau BLT tetap diterapkan pada zaman sekarang maka akan meningkatkan dan akan banyak orang miskin yang berada di Negara Indonesia.
BLT juga selalu diberikan kepada orang yang sama. Karena BPS menggunakan beberapa indikator dalam penentuan penerima BLT, maka hanya beberapa orang di desa yang mendapatkannya. Dan untuk penerimaan berikutnya, sampai berulang-ulang kali, penerimanya masih orang yang sama, yaitu mereka yang terdaftar di BPS. Padahal, masih banyak masyarakat yang pendapatannya sedikit diatas penerima BLT, tetapi mereka tidak pernah mendapatkannya, Misalnya, si A hanya memiliki pendapatan Rp. 100.000 per bulan, rumah dari bambu, berlantai tanah dll, sehingga dia dimasukkan dalam kelompok penerima BLT. Sedangkan si B tetangganya, dengan kondisi yang hampir sama, tetapi memiliki penghasilan Rp. 190.000 per bulan. Karena alasan pendapatan diatas garis kemiskinan, maka dia tidak didaftar sebagai penerima BLT. Untuk satu atau dua kali pemberian BLT, mungkin si B bisa menerima. Tetapi, melihat si A yang menerima BLT berkali-kali dan tidak ada perubahan di hidupnya, maka tentunya si B merasa cemburu, karena senyatanya dia hanya berbeda sedikit dengan si A. Bahkan, dengan dana BLT, si A memiliki penghasilan yang lebih tinggi (Rp. 200.000) dari pada si B. Maka Kecemburuan social ini, banyak dirasakan masyarakat desa.
Banyak perangkat desa yang mengalami masalah dan keluhan atas penerimaan BLT di desanya, memilih untuk menjalankan program padat karya dari pada BLT. Menurut mereka, padat karya lebih jelas hasilnya (berupa bangunan fisik atau sarana umum) dan ada penerimaan dari masyarakat, karena hanya mereka yang bekerja yang akan mendapatkan upah. Pilihan ini masuk akal, karena bagi perangkat desa, konflik yang ditimbulkan dari pelaksanaan padat karya akan relative jauh lebih kecil.
Sekalipun begitu, tentunya pemilihan orang yang melakukan padat karya juga menjadi isu penting. Karena tidak semua warga bisa kerja, misalnya janda tua yang miskin. Tentunya, dia tidak bisa ikut padat karya, tetapi yang jelas dia membutuhkan bantuan. Disini, terlihat bahwa program padat karya tidak bisa memenuhi kebutuhan janda tua miskin tersebut dan sebab itu maka dibuat suatu pelatihan-pelatihan seperti karya dalam hal membuat kerajinan tangan yang dapat dimanfaat dari alam sekitar untuk melakukan suatu kerajinan tangan agar bermanfaat bagi mereka.
                       Oleh karena itu kebijakan pemerintah sangatlah tidak boleh dilakukan dengan menerapkan bahwa BLT bisa mensejahterahkan rakyat, ada baiknya bahwa BLT itu dialihkan dengan memberi modal kepada masyarakat yang kurang mampu untuk melakukan suatu usaha yang akan dijalankan serta dilakukannya juga pengawasan yang diberikan oleh pemerintah terhadap masyarakat, dimana masyarakat kalau tidak dilakukan pengawasan terhadap modal usaha maka masyarakat yang kurang pengetahuan terhadap suatu usaha maka akan sia-sia kalau pemerintah daerah atau kelurahan tidak melakukan control terhadap masyarakat yang menjalankan suatu usaha yang mereka jalankan.







Pen
Pen
P

Selasa, Maret 06, 2012

Hak-Hak Demokratis Pemuda Mahasiswa

Pengertian Pemuda
Pemuda adalah salah satu golongan atau sektor dalam masyarakat yang dikategorikan berdasarkan umur. Secara umum, pemuda bisa diartikan sebagai mereka yang berusia antara 15 hingga 35 tahun. Dalam kategori umum ini, terdapat klasifikasi lagi yang terbagi dalam Pemuda-pelajar, Pemuda-Mahasiswa dan Pemuda-umum. Ditinjau dari perspektif tenaga produktif, golongan pemuda adalah tenaga produktif yang potensial dalam proses produksi karena berusia lebih muda, energik dan tingkat mobilitas yang lebih tinggi. Untuk itulah usia pemuda juga disebut sebagai usia produktif.

Pemuda-pelajar adalah pemuda yang berstatus sebagai pelajar dan mengenyam bangku pendidikan sekolah dari tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Umum (SMU). Masa tempuh bangku sekolah pelajar rata-rata 3 tahun untuk setiap jenjang pendidikan. Sering kali mereka disebut juga sebagai remaja atau dalam istilah pergaulan disebut “ABG” (anak baru gede). Dulu, istilah pemuda pelajar adalah bagi mereka yang menempuh bangku kuliah. Istilah pemuda-pelajar dikenal sejak era Kebangkitan Nasional hingga akhir tahun 1950-an. Sejak itu, istilah pemuda-pelajar lebih dikenal sebagai mahasiswa.

Pemuda-Mahasiswa adalah pemuda yang berstatus sebagai mahasiswa dan mengenyam pendidikan tinggi di perguruan tinggi (Universitas/Sekolah Tinggi/Institut/Akademi/Politeknik). Pemuda-mahasiswa lebih lazim disebut sebagai mahasiswa. Sementara pemuda umum adalah pemuda yang terhimpun dalam berbagai sektor masyarakat seperti pemuda buruh, pemuda tani ataupun pemuda pengangguran. Namun rata-rata, pemuda umum di Indonesia tidak mengenyam dunia pendidikan dan tidak memiliki pekerjaan secara tetap. Mereka ini juga menjadi korban dari kebijakan pendidikan mahal dan tidak adanya jaminan lapangan pekerjaan kepada rakyat, terutama bagi golongan pemuda.

Tentang Mahasiswa
Mahasiswa yang bisa berkuliah rata-rata berasal dari keluarga yang cukup mampu. Yang dimaksudkan dengan keluarga cukup mampu ini adalah keluarga yang berkedudukan sebagai borjuasi kecil hingga borjuasi besar di perkotaan. Ataupun dari keluarga tuan tanah, tani kaya dan tani sedang atas di pedesaan. Rata-rata keluarga yang mampu menguliahkan anaknya adalah mereka yang bekerja sebagai pegawai negeri, karyawan sebuah perusahaan, pemilik toko-toko kecil hingga anak-anak pejabat dan pengusaha besar. Sangat minim keluarga dari buruh pabrik, buruh tani dan tani miskin yang mampu menguliahkan anaknya.

Rata-rata mahasiswa di Indonesia menempuh massa kuliah 4-5 tahun untuk jenjang pendidikan strata 1 (S1) atau sarjana. Jenjang pendidikan S1 dibekali dengan pendidikan teoritis dan praktis. Ada juga mahasiswa yang menempuh massa kuliah 1-3 tahun untuk jenjang pendidikan D1, D2, D3 dan Politeknik. Jenjang pendidikan ini lebih menekankan pada pembekalan ketrampilan atau praktis. Ada juga jenjang pendidikan strata 2 (S2) dan Strata 3 (S3) yang menempuh waktu rata-rata 2-3 tahun. Jenjang pendidikan ini banyak diisi oleh mahasiswa dari kalangan borjuasi besar, anak tuan tanah atau tani kaya. Karena biaya kuliah untuk jenjang ini terbilang sangat mahal. Dan orientasinya lebih ditujukan untuk memenuhi prestise (gengsi sosial) agar memudahkan dalam menapaki karier baik dalam menjadi karyawan sebuah perusahan, birokrat pemerintahan, intelektual borjuis dan politisi borjuis.

Untuk itu pula, mahasiswa secara kedudukan klas disebut “borjuasi kecil”. Maksudnya, mahasiswa tidak terlibat secara langsung dalam proses produksi ekonomi layaknya klas buruh dan kaum tani, tetapi memiliki kemampuan pengetahuan dan ketrampilan sebagai alat produksi yang akan digunakan untuk keberlangsungan hidupnya, terutama untuk memenuhi tuntutan hidup pasca kuliah. Kedudukan sebagai borjuasi kecil juga terlihat dari watak individualis mahasiswa dan cita-cita yang rata-rata ingin jadi “orang besar” baik sebagai seorang karyawan sebuah perusahaan, birokrat pemerintahan, intelektual hingga politisi. Karena borjuasi kecil memang selau berkeinginan untuk menjadi borjuasi besar. Hingga kemudian pragmatisme begitu mengental di mahasiswa. Mahasiswa akan lebih memikirkan dirinya sendiri seperti mengejar nilai kuliah setinggi-tingginya dibandingkan memperjuangkan kesejahteraannya baik di kampus ataupun yang berkenaan dengan kebijakan pemerintah, walaupun dirinya menyadari bahwa ada persoalan mengenai hal tersebut.

Namun mahasiswa juga memiliki tingkat kekritisan terhadap persoalan-persoalan di sekelilingnya. Mahasiswa juga memiliki semangat kaum muda yang selalu mendambakan terjadinya perubahan atas kondisi sosial yang ada. Seringkali pemikiran kritis mahasiswa atau keluhan-keluhan mahasiswa hanya disikapi secara individu, dipendam sendiri, menjadi obrolan-obrolan singkat dalam tongkrongan atau hanya dianggap angin lalu saja. Karena mahasiswa sering berpikir hal itu sebagai sesuatu yang wajar-wajar saja atau bukan masalah karena nantipun ketika dia lulus akan mendapatkan penghidupan yang lebih baik dengan modal sarjananya. Apalagi bagi mahasiswa yang berlatar belakang dari keluarga borjuasi besar dan tuan tanah. Tetapi, peluang untuk membangkitkan, menggorganisasikan dan mengorganisasikan mahasiswa juga sangat terbuka karena mahasiswa juga mengalami ketertindasan dan keterhisapan dari sistem pendidikan yang berlaku saat ini. Sejarah juga telah mencatat bahwa mahasiswa memiliki peran besar dalam perubahan politik dan sosial baik di dunia dan di Indonesia.

Mahasiswa juga mengalami keterasingan dari realita sosial yang ada. Hal ini tidak terlepas dari kurikulum pendidikan yang diterimanya di bangku perkuliahan yang memang memisahkan dirinya dari realitas sosial. Dunia kampus telah didesain oleh negara menjadi “menara gading” yang hanya membuat mahasiswa memandang sesuatu dari permukaan semata. Di bangku kuliah, mahasiswa dijejali dengan serangkaian mata kuliah yang tidak ilmiah. Maksudnya, pelajaran-pelajaran yang didapatkan oleh mahasiswa di bangku kuliah tidak membuat dirinya mampu memahami arti sesungguhnya dari fungsi dan kegunaan itu sendiri.

Tentang Negara dan Rakyat
Negara dalam pengertian yang lazim dipahami oleh masyarakat luas adalah pihak yang bertugas atau memiliki kewajiban menyelenggarakan pemerintahan yang ditujukan untuk mensejahterakan kepentingan seluruh rakyat. Dengan demikian, tujuan diadakannya negara sesungguhnya adalah untuk melayani kepentingan rakyat. Karena, negara atau pemerintahan didirikan atas mandat atau amanat dari rakyat untuk memenuhi aspirasi dan kepentingan rakyat.

Rakyat sendiri adalah unsur-unsur klas, sektor atau golongan yang masing-masing memiliki kepentingan-kepentingan sosial-ekonomis (penghidupan sehari-hari) dan politik tersendiri. Secara umum rakyat Indonesia terdiri dari klas buruh, kaum tani, kaum pemuda, kaum perempuan, kaum miskin perkotaan, suku bangsa minoritas dan kaum minoritas seperti LGBT(lesbian, gay dan transeksual). Diantara susunan ini, kaum tani dan klas buruh adalah jumlah terbesar dalam masyarakat Indonesia yang berpenduduk sekitar 220 juta jiwa. Kaum tani berjumlah kurang lebih 60 hingga 70 persen (di atas 100 juta jiwa) dan klas buruh sekitar 20-30 persen (30-40 juta jiwa). Kaum perempuan adalah populasi terbesar dalam masyarakat dengan perbandingan 60 : 40 persen dengan kaum laki-laki. Sementara jumlah angkatan kerja produktif berjumlah sekitar 100 juta jiwa.

Disebutkan di atas bahwa masing-masing klas, golongan atau sektor tersebut memiliki kepentingan sosial ekonomis tersendiri. Klas buruh misalnya, memiliki kepentingan akan upah yang layak, kepastian jaminan kerja dan jaminan kesejahteraan lainnya seperti jaminan kesehatan dan pesangon. Kaum tani memiliki kepentingan akan sewa tanah yang lebih murah, hak untuk menggarap atau memiliki tanah dan jaminan untuk berproduksi. Sektor pemuda secara umum memiliki kepentingan atas akses pendidikan dan jaminan lapangan pekerjaan. Sementara kaum perempuan berkepentingan atas adanya kesetaraan antara kaum lelaki dan kaum perempuan dan akses terhadap segala bidang, baik politik, ekonomi dan budaya.

Kepentingan-kepentingan ini kemudian dikenal sebagai hak-hak demokratis rakyat. Yang dimaksudkan dengan hak-hak demokratis rakyat adalah hak-hak dasar atau hak-hak normatif dari rakyat yang semestinya didapatkan sebagai tuntutan lahiriah (universal) ataupun yang telah diatur dalam peraturan perundangan-undangan yang berlaku. Hak-hak demokratis inilah yang seharusnya menjadi penopang bagi negara atau pemerintahan dalam menyelenggarakan pemerintahan demi tercapainya kesejahteraan rakyat Indonesia.

Mengacu pada pengertian akan negara dan tanggung jawabnya serta hak-hak demokratis rakyat, sesungguhnya apa yang diungkapkan di atas telah diatur dalam konstitusi atau UUD 1945. Dalam tujuan nasional sebagaimana tercantum dalam pembukaan UUD 1945, disebutkan bahwa negara bertujuan melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut terlibat dalam usaha perdamaian dunia. Lebih lanjut tentang hak-hak rakyat baik bersifat sosial-ekonomis dan politik, diatur dalam Batang Tubuh UUD 1945 pasal 27-34.

Namun sejauh ini apa yang telah diatur dalam konstitusi tersebut, masih sering dilanggar oleh negara yang berkewajiban sesuai dengan amanat UUD 1945. Ambil contoh, dalam pemenuhan anggaran pendidikan minimal 20 persen dari APBN/APBD sebagaimana mandat pasal 31 UUD 1945, sampai kini belum dipenuhi. Padahal pemenuhan anggaran pendidikan 20 persen sangat berarti untuk menjamin pendidikan bagi seluruh rakyat Indonesia. Kemudian dalam penguasaan sumber kekayaan alam oleh negara dan dipergunakan sebanyak-banyaknya untuk kemakmuran rakyat juga tidak dipenuhi. Saat ini, banyak kekayaan alam Indonesia dikuasai oleh perusahaan-perusahaan asing yang beroperasi di Indonesia. Parahnya, rakyat bukan semakin makmur, justru makin miskin. Misalnya dalam kasus PT Freeport Indonesia. Perusahaan milik AS yang beroprasi sejak tahun 1967 ini, merupakan salah satu perusahaan tembaga dan mas terbesar di dunia (ke-3) dan berpenghasilan melebihi ¼ PDB Indonesia, namun keberadaannya justru tidak mendatangkan kemakmuran bagi rakyat Papua. Sungai-sungai besar di Papua tercemar, pelanggaran HAM terhadap rakyat Papua, perdagangan kaum perempuan dan kemiskinan justru lebih terlihat nyata dibandingkan kemakmuran yang dirasakan.

Hal di atas hanya sedikit dari sekian persoalan tentang pelanggaran tanggung jawab negara terhadap rakyat. Dalam pasal 27 UUD 1945, disebutkan negara menjamin kehidupan yang layak dan lapangan pekerjaan. Tapi dengan dinaikannya harga BBM, justru kehidupan rakyat semakin menyedihkan karena harga-harga melonjak dan pendapatan yang minim. Di lain sisi, juga mengancam lapangan pekerjaan karena naiknya harga BBM juga berimbas bagi adanya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Sementara kaum tani terancam tidak bisa berproduksi, karena besarnya biaya produksi yang harus ditanggung seperti bubuk dan bibit. Dalam hal politik misalnya, hak-hak berpendapat dan berorganiasi juga masih dikekang, seperti larangan berdemonstrasi dan stigmaisasi organisasi dengan tuduhan sebagai PKI dan ounderbouwnya. Atau bagaimana Kejaksaan Agung rejim SBY-Kalla mengeluarkan kebijakan membatalkan proses hukum Soeharto, padahal hal ini merupakan mandat TAP MPR dan cita-cita reformasi serta menginjak-injak rasa keadilan masyarakat.

Masing-masing klas, sektor atau golongan ini memiliki kepentingan sosial-ekonomis tersendiri, namun secara umum setiap klas, sektor dan golongan ini disatukan atas dasar penindasan yang sama, yaitu penindasan dan penghisapan dari imperialisme, feodalisme dan kapitalisme birokrat melalui rejim boneka-nya di Indonesia yang merupakan kekuasaan (kediktatoran) bersama antara borjuasi besar komprador, tuan tanah besar dan kapitalis birokrat yang selalu setia melayani kaum kapitalis monopoli internasional (imperialisme). Inilah yang menjadi pertautan persatuan dan perjuangan bersama seluruh rakyat tertindas di Indonesia saat ini.

Hingga kemudian tidak salah dan sangat wajar jika kemudian seringkali muncul demonstrasi atau unjuk rasa dari masyarakat yang menuntut hak-haknya, karena memang selama ini hak-hak demokratis rakyat tidak dipenuhi oleh negara. Dan hal ini sangat penting, karena rakyatlah yang sesungguhnya berdaulat. Bukan pejabat atau pengusaha baik asing atau swasta. Karena tanpa rakyat, negara ibaratnya rumah tanpa pondasi yang bisa dipastikan akan mudah roboh tanpa perlu diterpa angin yang kencang. Maka, sesungguhnya kedaulatan rakyat seperti yang disebutkan dalam Konstitusi Replubik

Tentang Hak-Hak Demokratis Mahasiswa
Hak-hak demokratis pemuda-mahasiswa adalah hak-hak normatif atau hak-hak dasar pemuda-mahasiswa yang meliputi kepentingan sosial-ekonomis dan politik yang harus dipenuhi sebagaimana mestinya, baik yang bersifat tuntutan lahiriah ataupun yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan atau peraturan hukum yang berlaku. Secara umum, hak-hak demokratis pemuda-mahasiswa adalah meliputi hak atas pendidikan dan jaminan lapangan pekerjaan.

Jika kita mengkaji lebih jauh, banyak sekali hak-hak demokratis pemuda-mahasiswa yang tidak dipenuhi, namun secara umum hal tersebut menyangkut persoalan tentang pendidikan dan lapangan pekerjaan. Bukan sekedar gosip jika kini kampus seperti UGM, UI atau ITB termasuk dalam daftar kampus termahal di Indonesia, terutama sejak diberlakukan status Badan Hukum Milik Negara (BHMN) kepada 6 kampus besar (UI, ITB, IPB, UGM, UPI, dan USU) di Indonesia. Selain soal besarnya biaya masuk dan SPP, masih disusul serangkaian biaya seperti BOP, dana praktikum, sumbangan orang tua atau deretan “pungli” yang tidak jelas. Diberlakukannya sistem “jalur khusus” di beberapa perguruan tinggi negeri (PTN) terkemuka, semakin membuka tabir komersialisasi pendidikan. Dengan uang belasan juta hingga puluhan juta, seseorang bisa dengan mudah berkuliah. Pertanyaannya, berapa banyak rakyat Indonesia yang berpenghasilan seperti itu? Mengingat, rata-rata pendapatan orang Indonesia berada di bawah 2 dollar AS per hari.

Mahalnya biaya pendidikan, ternyata tidak diiringi dengan peningkatan fasilitas pendidikan. Tidak sedikit kampus-kampus, baik swasta dan negeri—yang memiliki fasilitas tidak memadai. Laboratorium, ruangan kelas, bangku kuliah, WC, parkiran atau jasa internet, sering menjadi keluhan bagi mahasiswa. Iklan-iklan pendidikan yang sering ditawarkan, justru sering menipu mahasiswa. Apa yang tercantum dalam brosur, ternyata tidak sesuai dengan fakta ketika mahasiswa menginjakkan kakinya di kampus.

Justru yang sering terjadi, banyak fasilitas pendidikan di kampus yang didagangkan atau didirikannya fasilitas-fasilitas yang tidak bersinggungan langsung dengan kepentingan mahasiswa, tetapi lebih ditujukan untuk mencari keuntungan komersil dengan cara-cara seperti penyewaan auditorium/aula, pemasangan iklan, pembukaan ritel-ritel perusahaan tertentu atau kerjasama dengan perusahaan tertentu untuk menambah pundi-pundi kas birokrasi kampus.

Kemudian pelayanan pendidikan yang cenderung birokratis (istilahnya dipingpong) hingga soal dosen yang sering bolos ngajar, anti kritik, monologis dan dogmatis. Dosen-dosen sendiri juga terancam kehidupannya, karena rendahnya tingkat kesejahteraan yang diterima. Sementara, para petinggi kampus bisa terus mengganti mobil baru atau rumah baru dan mendapatkan kenaikan gaji.

Lantas bagaimana dengan mutu pendidikan tinggi di Indonesia. Majalah Asia Week (2003) melaporkan bahwa kampus sekelas UI dan UGM hanya menempati urutan 60-70 an dari seluruh universitas di Asia Pasifik. Peringkat pendidikan Indonesia bahkan berada di bawah Vietnam dan Philipina, karena minimnya lulusan pendidikan tinggi yang terserap dalam lapangan kerja formal. Sudah menjadi rahasia umum bahwa banyak sarjana Indonesia yang menganggur atau bekerja tidak sesuai dengan besar biaya yang dikeluarkan ketika kuliah.

Sektor pendidikan Indonesia saat ini menuju pada liberalisasi dengan maraknya privatisasi dan komersialisasi pendidikan. Setidaknya ada beberapa hal yang meindikasikan hal tersebut. Pertama, pencabutan subsidi pendidikan yang telah mendorong biaya pendidikan menjadi mahal, karena pendidikan ditujukan menjadi barang dagangan (komoditi) bukan lagi pelayanan negara terhadap rakyat. Liberalisasi sektor pendidikan sendiri secara global telah diatur oleh salah satu lembaga milik imperialisme yaitu organisasi perdagangan dunia (WTO) dalam General Agreement on Trade Services (GATS) tentang liberalisasi perdagangan jasa pendidikan.

Selanjutnya, dalam kesepakatan untuk mendapatkan utang luar negeri melalui CGI dan IMF, pemerintah diharuskan mencabut subsidi sosial, seperti pendidikan, kesehatan, BBM, listrik, air dan telepon. Hingga dalam APBN, alokasi anggaran pendidikan hanya berkisar 4-9% per tahun, dimana 40 persen porsi anggaran dialokasikan untuk pembayaran utang dan rekapitalisasi perbankan, dimana hasilnya juga tidak dinikmati oleh rakyat.

Pencabutan subsidi pendidikan telah mendorong terjadinya proses privatisasi pendidikan, terutama bagi kampus-kampus negeri. Setelah memberlakukan status BHMN bagi 6 PTN terkemuka di Indonesia, pemerintah tengah berupaya menerapkan sistem Badan Hukum Pendidikan Tinggi (BHPT). Dengan BHPT, kampus-kampus di Indonesia akan diubah tak bedanya dengan perusahaan yang berorientasi profit, bukan membuka akses seluas-luasnya bagi rakyat Indonesia untuk mengenyam bangku kuliah dan institusi pendidkan yang bertujuan mencerdasakan kehidupan bangsa. Dorongan privatisasi pendidikan semakin jelas, ketika dalam rencana strategis (renstra) pendidikan 2005, pemerintah secara jelas menekankan pendidikan diukur dari kemampuan ekonomi seseorang. Artinya, sekolah bermutu hanya bagi mereka yang berduit, sedangkan bagi mereka yang miskin hanya bisa mendapatkan sekolah pas-pasan.

Dibukanya kerjasama dengan dunia industri—sesuai kurikulum berbasis kompetensi, tidak menjamin lulusan perguruan tinggi bisa dengan mudah mendapatkan pekerjaan. Sejauh ini, kerjasama lebih ditujukan untuk menarik minat calon mahasiswa dengan embel-embel magang kerja dan sebagainya. Terbukti, ketika musim seleksi PNS datang, tidak sedikit sarjana yang harus ngantri untuk mengikuti seleksi. Itupun belum tentu diterima, tergantung bagaiman kemampuan menyogok “orang dalam”. Atau fakta deretan sarjana yang sering mengutak-atik jasa iklan lowongan pekerjaan dan keluar masuk kantor perusahaan.

Sebagai catatan, angka pengangguran masih terus bergerak naik. Pada tahun 1997 jumlah pengangguran mencapai 5,4 persen. Di tahun 2004 naik hingga 10,8 persen. Jika menghitung pengangguran tertutup atau mereka yang setengah menganggur, angka pengangguran telah mencapai lebih dari 40 juta. Ironisnya, sebagian besar pengangguran menimpa tenaga kerja muda dan perempuan. Sekitar tiga dari sepuluh angkatan kerja berusia 15 hingga 24 tahun adalah penganggur. Kelompok muda penganggur ini mencapai dua pertiga dari total pengangguran yang ada (26,7 juta jiwa). Angka perempuan penganggur lebih besar dibandingkan dengan penganggur laki-laki. Pada tahun 2005, pemerintah menjanjikan akan menyerap 2 juta tenaga kerja bila target pertumbuhan bisa mencapai 5,5 persen. Namun angkatan kerja yang baru setiap tahun tumbuh lebih dari 2,5 juta. Depnaker dalam perhitungan terakhir menyebutkan bahwa jumlah penggangguran terbuka di seluruh Indonesia sekitar 10,25 juta jiwa. Kemungkinan tenaga kerja yang terserap hanya sekitar 1,8 juta jiwa dari 2 juta pekerja. Artinya, logika pertumbuhan ekonomi ala Bretton Woods yang diagung-agungkan pemerintah ternyata tidak mampu menyerap lulusan perguruan tinggi, karena sekitar 55 persen angakatan kerja adalah lulusan sekolah dasar ke bawah.

Ancaman lain adalah masuknya perguruan tinggi asing ke dalam negeri. Terkait hal ini, pemerintah bahkan berencana akan merevisi UU Sisdiknas Nomor 20/2003 untuk memudahkan masuknya institusi pendidikan asing. Apakah kehadiran jasa pendidikan asing akan meningkatkan kualitas pendidikan? Dari segi biaya saja harganya dipastikan akan sulit dijangkau. Apalagi dengan mayoritas rakyat Indonesia yang miskin. Biaya pendidikan yang ada saat ini saja, telah menyulitkan akses untuk berkuliah. Kemudian ancaman kebangkrutan bagi kampus-kampus kecil yang kurang ternama. Jika ingin bertahan hanya dua pilihan yaitu menekan mahasiswa dengan menaikan biaya kuliah atau mengalihkan modalnya kepada kampus-kampus asing atau kampus besar (merger/akuisisi). Pilihan terakhir adalah menutup kampus, karena tidak sanggup lagi menahan besar biaya operasional.

Dengan demikian, liberalisasi memang tidak menjawab persoalan peningkatan mutu pendidikan di Indonesia apalagi pemerataan pendidikan bagi seluruh rakyat Indonesia. Masa depan pendidikan Indonesia justru terancam dengan krisis yang akan semakin kronis karena liberalisasi pendidikan yang sesungguhnya adalah “mega proyek” imperialisme di sektor pendidikan.

Kampus tidak bisa dinilai sebagai lembaga yang otonom secara nilai. Sebagai institusi sosial yang mengajarkan dan menyebarluaskan nilai-nilai sosial, imperialisme dan kaki tangannya di dalam negeri tentu saja berkepentingan untuk menanamkan dominasinya sekaligus hegemoninya di tengah kampus. Selain bertujuan menghasilkan tenaga kerja murah yang akan mengisi kantong-kantong perusahaan imperialis dan kompradornya, kaum intelektual kampus adalah sasaran empuk bagi calon-calon “propagandis” yang akan menyebarluaskan nilai-nilai dari sistem yang mendominasi yaitu imperialisme dan feodalisme.

Tidak sedikit pandangan-pandangan kaum intelektual kampus yang mendukung masuknya investasi asing, menentang land reform, atau mengkebiri kekritisan mahasiswa di kampus. Hingga kemudian menjauhkan mahasiswa dari realitas “bobrok”nya kampus dan kemiskinan rakyat Indonesia. Mahasiswa takut berbicara lantang, karena di ancam nilai jelek, presensi hingga drop out (DO). Mahasiswa hanya didorong sekedar menikmati persoalan akademis kampus. Aktifitas kritis dikampus dianggap tidak sesuai dengan iklim akademis. Padahal dalam demokrasi—seperti yang sering dikutip para petinggi kampus, demonstrasi, kebebasan berpendapat, berekspresi dan berorganisasi adalah hal yang wajar-wajar saja.

Mahasiswa yang katanya agent 0f change dan agent of social control, ternyata sulit menerapkan ilmunya untuk mengatasi permasalahan-permasalahan yang dihadapi rakyat. Hal ini terjadi karena pemberian materi-materi perkuliahan memang menjauhkan mahasiswa dari realitas kemiskinan rakyat Indonesia. Sarjana arsitektur Indonesia lebih bangga membangun gedung pencakar langit dibandingkan mendirikan perumahan bagi kaum buruh yang terus menempati bedeng-bedeng kumuh di perkotaan. Mahasiswa ekonomi dicekoki dengan teori ekonomi pertumbuhan yang justru mengakibatkan lautan PHK dan membludaknya pengangguran. Warisan kolonial yang dipelajari mahasiswa hukum dalam KUHP dan deretan pasal karetnya, ternyata lebih sering digunakan untuk menjerat perjuangan rakyat yang menuntut hak-hak demokratisnya. Wajar kemudian jika banyak pengacara yang memilih membela pejabat korup dibandingkan membela kaum tani dan buruh.

Bangkit, Berorganisasi dan Bergerak Gapai Hak Kita
Pemuda-mahasiswa harus menyadari bahwa negara berkewajiban untuk memenuhi hak-hak demokratisnya. Dengan menyadari ini dan kemudian kita melihat bahwa hak-hak demokratis tersebut tidak dipenuhi oleh negara, maka mau tidak mau kita harus berjuang untuk mendapatkannya. Tapi sekali lagi, untuk memperjuangkan itu semua, pemuda-mahasiswa membutuhkan alat yang tepat. Dan alat itu adalah organisasi. Hanya dengan berorganisasi lah pemuda-mahasiswa bisa mengaspirasikan tuntutannya dan bersama seluruh massa pemuda-mahasiswa yang tergabung dalam organisasi bisa memperjuangkannya secara bersama. Karena perubahan tidak bisa tercipta melalui segelintir orang. Tapi perubahan sangat ditentukan oleh kekuatan massa, karena perubahan sesungguhnya adalah karya massa. Dengan bergabung dalam organisasi massa yang militan, patriotik dan demokratis, massa pemuda-mahasiswa akan bergerak melalui program-program aksi yang konkret untuk memecahkan persoalan yang dihadapi dan menggapai tuntutan-tuntutan hak-hak demokratisnya. Bangkitlah kaum muda Indonesia!

Hingga sangat banyak pemuda pedesaan yang beralih ke perkotaan, karena di desa pekerjaan sebagai tani tidak menjanjikan jaminan penghidupan yang lebih layak, karena adanya monopoli pengusaan tanah dan hasil produksi pertanian oleh tuan tanah baik perorangan ataupun institusi milik negara, swasta dan asing, seperti inhutani dan perhutani.

Baik sekolah atau perguruan tinggi saat ini, ada yang dikelola langsung oleh negara dan ada juga yang ditangani oleh pihak swasta. Seiring terjadinya liberalisasi pendidikan dengan maraknya privatisasi dan komersialisasi pendidikan, kondisi institusi pendidikan negeri (milik negara) dan institusi pendidikan swasta (dikelola badan usaha) sudah tidak jauh berbeda, yaitu mahalnya biaya pendidikan. Sementara tentang persoalan pengangguran, juga tidak terlepas dari kondisi dunia pendidikan yang “bobrok”, hingga banyak pemuda di negeri ini sulit mengenyam pendidikan dan ketidakmampuan pemerintah untuk menyerap lulusan dunia pendidikan dalam dunia kerja.


Entri Populer