SELAMAT DATANG DIBLOG ferlionbernata.blogspot.com

Rabu, April 11, 2012

Kesepakatan Partai-Partai Politik yang Bergabung dalam Koalisis dengan Presiden Republik Indonesia tentang Code of Conduct (Tata Etika) dan Efektifitas pemerintahan SBY-Boediono 2009-2014


terimakasih telah mampir diblog saya, sekarang kita telah mendengar antara koalisi dengan oposisi antara PKS dengan Demokrat bagaimana kesepakatan antara kedua partai yang dulunya sangat mendukung kebijakan partai demokrat dan sekarang tiba-tiba balik arah akibat tidak sepakat antara kebijakan untuk menaikan harga BBM karena dinilai masih banyak hal untuk menyelamatkan APBN dengan tidak menaikan harga BBM.



Mencermati perkembangan dan dinamika satu setengah tahun Koalisi Partai-Partai Politik dengan Presiden Republik Indonesia, maka dirasakan perlu untuk melakukan evaluasi, baik kebersamaan dalam Koalisi, maupun tanggung jawab dan kewajiban untuk mensukseskan pemerintahan SBY-Boediono 2009-2014.

Dalam perjalanan kebersamaan Koalisi, ternyata masih terdapat butir-butir kesepakatan kebersamaan yang belum sepenuhnya berjalan dengan baik, sehingga sangat mengganggu efektifitas dan keberhasilan kinerja Koalisi baik di bidang Legislatif maupun di bidang Eksekutif.

Atas pertimbangan di atas, dan demi efektifitas dan suksesnya pelaksanaan pemerintahan SBY-Boediono sampai akhir masa baktinya, maka perlu dirumuskan kembali kebersamaan dan tanggung jawab Koalisi yang dituangkan dalam bentuk penyempurnaan kesepakatan terdahulu yang tertuang dalam naskah Kesepakatan Partai-Partai Politik yang bergabung dalam Koalisi dengan Presiden Republik Indonesia tentang Code of Conduct (Tata Etika) Pemerintahan Republik Indonesia SBY-Boediono 2009-2014 yang ditandatangani pada hari Kamis tanggal 15 Oktober 2009.

Tujuan penyempunaan kesepakatan ini adalah untuk lebih menegaskan keberadaan Partai Politik dalam Koalisi, baik hak-hak maupun tanggung jawabnya, yang nyata, produktif dan bertanggung jawab dalam menyukseskan Pemerintahan SBY-Boediono 2009-2014 dengan konsekuen dan dilaksanakan secara sungguh-sungguh.

Melalui pengantar kesepakatan Koalisi ini, diharapkan kinerja koalisi akan semakin solid dan lebih efektif dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya. Suksesnya pemerintahan SBY-Boediono 2009-2014 adalah guna memenuhi amanah dan harapan rakyat, yang ditandai dengan kokohnya pilar-pilar kehidupan bernegara, suksesnya pembangunan ekonomi untuk kesejahteraan rakyat, makin berkembangnya kehidupan demokrasi yang bermartabat, serta penegakan hukum yang berkeadilan.

Menyadari butir-butir pertimbangan tersebut di atas dan dengan penuh rasa tanggung jawab, maka kami Partai-Partai Politik menyetujui perlunya penguatan kinerja dan kebersamaan Koalisi. Dengan penguatan kesepakatan ini, kesepakatan tanggal 15 Oktober 2009 masih tetap berlaku dan mengikat serta merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kesepakatan yang telah disempurnakan ini.

Oleh karena itu, dengaa memohon ridho Tuhan Yang Maha Kuasa pada hari ini Senin tanggal 23 Mei Tahun 2011 kami Pimpinan Partai Politik Koalisi yang bertanda tangan di bawah ini bersepakat untuk berkoalisi dan mendukung penuh suksesnya pemerintahan SBY-Boediono 2009-2014, baik dalam bidang Eksekutif maupun dalam bidang Legislatif dengan menambahkan pasal-pasal baru, sebagai penyempurnaan pasal 4, 7, 8 dan 9 dalam Kesepakatan Partai-Partai Politik yang bergabung dalam Koalisi dengan Presiden republik Indonesia tentang Code of Conduct (Tata Etika) Pemerintahan Republik Indonesia 2009-2014 yang ditandatangani pada hari Kamis tanggal 15 Oktober 2009.

Penyempurnaan kesepakatan ini dituangkan dalam butir-butir sebagai berikut:

1. Setiap anggota Koalisi wajib memiliki dan menjalankan semangat kebersamaan dalam sikap dan komunikasi politik, yang sungguh-sungguh mencerminkan kehendak yang tulus untuk berkoalisi. Anggota Koalisi sepakat untuk tidak mengeluarkan pernyataan dan tindakan maupun komunikasi politik yang senantiasa menyerang dan mendiskreditkan satu sama lain, sehingga semangat kebersamaan dan soliditas Koalisi senantiasa dapat diimplementasikan bersama-sama.

2. Keputusan-keputusan yang ditetapkan oleh Presiden (yang dalam hal ini dibantu oleh Wakil Presiden) menyangkut kebijakan-kebijakan politik yang strategis dan posisi-posisi politik yang penting, setelah mempertimbangkan pandangan dan rekomendasi Pimpinan Partai Koalisi pada rapat yang dipimpin oleh Ketua Setgab, wajib didukung dan diimplementasikan baik di pemerintahan maupun melalui fraksi-fraksi di DPR. Menteri-menteri dari Partai Politik Koalisi adalah merupakan perwakilan resmi Partai Politik Koalisi, karena itu wajib menjelaskan dan mensosialisasikan segala kebijakan maupun keputusan yang telah ditetapkan oleh Presiden kepada partainya.

3. Dalam hal mekanisme kerja antara Pemerintahan dan DPR sesuai dengan fungsi-fungsi Anggaran, Legislasi dan Pengawasan, Partai-Partai Koalisi sepakat untuk tetap memberi ruang pembahasan sebagaimana mekanisme kerja yang selama ini berlangsung antara Pemerintah dan DPR, melalui Forum-forum Rapat Kerja, Rapat Dengar Pendapat, Rapat Konsultasi dan lain-lain.

4. Untuk lebih meningkatkan efektifitas dan komunikasi Partai Koalisi, terutama dalam menentukan kebijakan-kebijakan politik yang strategis dan posisi-posisi politik yang penting, Presiden melakukan pertemuan dengan para Pimpinan Partai Koalisi minimal satu kali dalam tiga bulan atau pada waktu-waktu yang ditentukan, yang pelaksanaannya diatur oleh Sekretariat Gabungan Koalisi.

5. Bilamana terjadi ketidaksepakatan terhadap posisi bersama Koalisi, terlebih menyangkut isu yang vital dan strategis, seperti yang tercantum dalam butir 2 tersebut di atas yang justru dituntut kebersamaan dalam Koalisi, semaksimal mungkin tetap dilakukan komunikasi politik untuk menemukan solusi yang terbaik. Apabila pada akhirnya tidak ditemukan solusi yang disepakati bersama, maka Parpol peserta Koalisi yang bersangkutan dapat mengundurkan diri dari Koalisi. Manakala Parpol yagn bersangkutan tidak mengundurkan diri pada hakikatnya kebersamaannya dalam Koalisi Partai telah berakhir. Selanjutnya Presiden mengambil keputusan dan tindakan menyangkut keberadaan Parpol dalam Koalisi dan perwakilan Partai yang berada dalam Kabinet.

6. Dalam hal Presiden melakukan Reshuffle Kabinet, sesuai dengan urgensi dan prerogatifnya, Presiden dapat melakukan pergantian personil, perubahan portofolio, dan bahkan apabila sangat diperlukan melakukan pengurangan/penambahan jumlah Menteri Partai Poltiik dalam Kabinet. Apabila Presiden mengambil keputusan demikian, di samping merupakan hak prerogatifnya, juga berdasarkan pertimbangan :

a. Evaluasi Kinerja Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II, yang didasarkan pada Kontrak Kinerja dan Pakta Integritas.

b. Efektifitas dan Solidaritas Koalisi KIB II.

c. Masukan Parpol Koalisi atas permintaan Presiden sebelum keputusan Presiden diambil.

d. Dokumen-dokumen kesepakatan sebelumnya.

Guna menjamin terwujudnya koordinasi dan sinergi di antara Parpol anggota Koalisi, telah dibentuk Sekretariat Gabungan Koalisi. Setgab ini diketuai oleh Presiden, dibantu oleh satu wakil ketua. Pelaksanaan rapat-rapat koordinasi diatur oleh Sekretaris Setgab, yang dipimpin oleh Pimpinan rapat dalam hal ini para ketua Umum Partai Koalisi secara bergantian, minimal satu bulan sekali.

Pada prinsipnya semua anggota Parpol Koalisi, guna membangun dan meningkatkan kesejahteraan rakyat sehingga sinergi Partai-partai Politik Koalisi dalam mensukseskan Pemerintahan SBY-Boediono 2009-2014 dapat benar benar diimplementasikan.

Demikian kesepakatan ini dibuat dengan penuh rasa tanggungjawab untuk sukses Pemerintahan SBY-Boediono 2009-2014 dalam mencapai tujuan bersama, menuju masyarakat adil dan makmur sesuai dengan cita-cita, sebagaimana disebutkan dalam pembukaan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.

Semoga Allah SWT, Tuhan Yang Maha Kuasa, memberikan jalan kemudahan bagi kemudahan bagi kita dan senantiasa diberikan ridha, taufik dan hidayah-Nya.

Ketua Umum Partai Demokrat (Anas Urbaningrum) 
Ketua Umum Partai Golongan Karya (Aburizal Bakrie) 
Presiden Partai Keadilan Sejahtera (Luthfi Hasan Ishaaq) 
Ketua Umum Partai Amanat Nasional (M Hatta Rajasa)
Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (Muhaimin Iskandar)
Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (Suryadharma Ali) 
Presiden RI (Dr H Susilo Bambang Yudhoyono)
Wakil Presiden RI (Prof. Dr. Boediono)

 SUMBER : Detik.com

Selasa, April 03, 2012

Fasilitas mewah untuk rakyat atau untu banggar (badan anggaran DPR RI )


Fasilitas mewah untuk rakyat atau untu banggar (badan anggaran DPR RI )
Akhir-akhir ini kita telah dihebohkan dengan fasilitas mewah yang dilakukan oleh wakil rakyat kita diparlemen yang melakukan renovasi toilet dengan menghadiskan biaya 2 milliar rupiah dan sekarang banggar megejutkan lagi dengan melakukan pengadaan terhadap ruang rapat yang begitu  mewah atas fasilitas ruang sidang yang dilakukan oleh badan anggaran DPR RI dengan menghabiskan biaya 200 milliar rupiah, hingga yang baru dengan pengadaan kalender unruk 560 orang anggota DPR yang menelan dana 1,5 miliar rupiah. Itu artinya, harga sebuah kalender di gedung DPR sebesar Rp116.000.
Angka-angka yang diatas itu benar-benar mengejutkan yang nilainya fansantis yang dilakukan oleh BANGGAR karena miliaran rupiah yang dikeluarkan untuk gedung DPR itu adalah sebuah ironi jika dibandingkan kondisi penduduk negeri ini yang masih banyak orang miskinnya. Masih ada 28,89 juta penduduk miskin di negeri ini. 
Masih ada sekitar 17,5 juta rumah tangga yang karena daya beli mereka rendah, terpaksa harus makan Raskin dengan kualitas yang buruk. Kondisi ini seharusnya sudah cukup menyadarkan kita terhadap pentingnya skala prioritas dalam pengelolaan anggaran negara. Kesejahteraan rakyat haruslah menjadi prioritas. Bukan kenyamanan segelintir elite yang belum tentu memikirkan nasib rakyat itu.
Soal toilet yang menghabiskan dana hingga 2 miliar itu misalnya, tentu sebuah ironi jika kita menengok kenyataan bahwa masih ada sekitar 11,55 juta rumah tangga (18,86 persen) di negeri ini yang tidak punya fasilitas buang air besar, 2,2 juta rumah tangga (3,59 persen) terpaksa harus menggunakan jamban umum, dan 7,17  juta rumah tangga lainnya (11,72 persen) harus puas dengan jamban bersama (BPS, Sensus Penduduk 2010). Tega-teganya 2 miliar uang negara─yang juga uang rakyat itu─dihabiskan untuk mendandani toilet segelintir orang yang kerap melukai hati rakyat itu, sementara ada puluhan juta penduduk negeri ini yang harus buang air (besar) di sawah, kebun, sungai, laut, dan tempat-tempat terbuka lainnya karena tak punya jamban.
Begitupula dengan ruang Banggar, yang dari sana kerap kali tercium aroma korupsi yang memiskinkan rakyat itu. Dana sebesar 20 miliar untuk sebuah ruang rapat tentu sungguh betul-betul keterlaluan. Dan jelas-jelas melukai hati 6,45 juta rumah tangga (10,55 persen) di negeri ini yang lantai rumahnya hanya beralaskan tanah, dan 8 juta rumah tangga (31, 3 persen) yang lantai rumahnya hanya beralaskan bambu, kayu, dan papan. Begitu pula dengan 4,15 juta rumah tangga (6,79 persen) yang luas bangunan tempat tinggalnya kurang dari 20 m2, sudah pasti terluka dengan ruang rapat yang menelan biaya sampai 20 miliar itu (BPS, Sensus Penduduk 2010).
Sebab gedung DPR adalah fasilitas yang diberikan oleh rakyat sebagai aspirasi rakyat yang menjalankan fungsi dan tugasnya, Kemewahan gedung DPR sebagai rumah rakyat seharusnya tidak melukai hati rakyat. Pada dasarnya, tidak ada yang salah dengan pengadaan berbagai fasilitas untuk menunjang pekerjaan para wakil rakyat itu. Tetapi toliet yang menghabiskan dana 2 miliar, ruang rapat yang menelan dana 20 miliar, serta sebuah kalender seharga Rp116.000 sungguhlah keterlaluan.
Oleh karena itu mari kita peduli dan ikut serta dalam pergerakan dan kebijakan yang diambil oleh anggota DPR RI, dengan begitu kita juga tidak terlena dengan apa yang pernah kita lihat dan kita dengar. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi kita semua..

Sumber : detik.com Data-data dari BPS: Sensus Penduduk 2010
Penulis : Ferlion Bernata

BBM Untuk kepentingan rakyat atau kepentingan parlemen ????


BBM Untuk kepentingan rakyat atau kepentingan parlemen ????

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhcBXD9iCwC1BLoPar0s0FV_E5ZupH_TEhp7iLTKfHXagRmDct0rplvwZQ-CTptb2ZtcmRtSb1q_P-ZbtWWr_6l2JMacanL40Fhox_LMYjLhR1GncN-r9kUTENkt95TDGpgq67y_gqCz1w/s320/Hasil+Rapat+DPR+Tentang+BBM.jpg
Setelah melewati persidangan parlemen digedung DPR RI  kemarin 30 Maret 2012 kita bertanya-tanya apakah hasil dari sidang paripurna itu betul-betul untuk rakyat atau untuk orang-orang berdasi diparlemen, sebab banyak kontroversi yang kita dengar bahwa undang-undnag itu bertentangan dengan konstitusi, bertentangan dengan kepentingan rakyat dan bertentnagan dengan UUD 1945.
Sejumlah mahasiswa yang bergabung baik itu buruh, aliansi ataupun dari masyarakat pro rakyat bahwa keputusan yang diambil oleh DPR RI itu tidak berlandaskan pada kepentingan rakyat dilihat dari keputusan yang diambil oleh mahkamah konstitusi bahwa tidak ada peraturan yang sepenuhnya diambil oleh pemerintah sebab itu melanggar konstitusi (Mahfud Md).
Ini juga terkait beberapa pertanyaan dan pertentnagan baik dari pihak parlemen yang koalisi maupun yang oposisi terhadap pemerintahan SBY-Boediono. Terhadap pasal7 ayat 6a bertentangan dengan Pasal 28D dan Pasal 33 UUD 1945 dan substansi ayat 6a itu sama dengan UU Migas sebelum dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK), Dengan dibatalkannya pasal tersebut oleh MK, maka harga BBM dan Gas ditentukan oleh pemerintah. Lalu, penambahan Pasal 7 ayat (6a) yang memberikan kewenangan pemerintah menaikkan harga BBM atas dasar kondisi harga minyak Indonesia (ICP) tertentu secara materiil tidak bertentangan dengan dibatalkannya pasal Pasal 28 ayat (2) UU Migas.
Dengan dibatalkannya pasal tersebut oleh MK, maka harga BBm dan Gas ditentukan oleh Pemerintah. Lalu, penambahan Pasal 7 ayat (6a) yang memberikan kewenangan pemerintah menaikkan harga BBM atas dasar kondisi harga minyak Indonesia (ICP) tertentu secara materiil tidak bertentangan dengan dibatalkannya pasal Pasal 28 ayat (2) UU Migas
Rapat paripurna DPR terkait rencana kenaikan harga BBM pada Jumat 30 Maret 2012 yang berlangsung hingga malam mengerucut pada 3 opsi akhir.
Hasil ini diperoleh berdasarkan hasil lobi antar fraksi di DPR.
Hasil rapat sidang paripurna mengambil beberpa opsi antara lain sebagai berikut :
1.  Fraksi PDIP, Fraksi Gerindra, dan Hanura Menyatakan pasal 7 ayat 6 tetap dan tidak ada   penambahan ayat baru.
2.  Fraksi Golkar pasal 7 ayat 6 tetap dan ditambah ayat 6 (a) persentase rata-rata 15 persen dengan jangka waktu 6 bulan.
3. Fraksi Partai Demokrat bersama Fraksi PAN, dan Fraksi PPP, serta Fraksi PKB ada empat fraksi, pasal 7 ayat 6 tetap dan ditambah ayat 6 (a) prosentase 10 persen dengan jangka waktu 3 bulan

Sementara itu FPKS menarik usulan awalnya menyangkut kenaikan harga BBM. PKS menarik opsi kenaikan harga BBM jika rata-rata kenaikan minyak mentah Indonesia di atas 20 persen dalam jangka waktu 6 bulan.

"Fraksi PKS dengan adanya 3 opsi tersebut menarik opsi yang ditawarkan yang semula mengusulkan opsi 20 persen untuk rata-rata selama 6 bulan," kata Ketua DPR Marzuki Alie.

FPKS pun memberikan penjelasan. "PKS belapang dada agar rapat tidak berlarut-larut. Kita upayakan tidak ada penambahan pasal," kata Ketua Fraksi PKS, Mustafa Kamal, dalam interupsinya. (sumber: detikcom)


Sumber : Detik.com, Dedionline.com

Penulis : Ferlion Bernata
Gambar : Dedionline.com

Teori Hukum Pidana TEORI CONDITIOSINEQUA NON


A.    TEORI CONDITIOSINEQUA NON
                   Ada aliran yang menyatakakan bahwa tak mungkin ditetapkan secara positif apa yang menjadi musabah dari suatu akibat.yang mungkin ialah menentukan secara negatif yaitub apakah akibat tersebut dapat dipikirkan tanpa adanya musabah atau hal tersebut menjadi musabah dari akibat itu.
                  Teori  dalam hukum pidana diajukan oleh Van Buri dan dinamakan teori Conditio Sine Qua Non (syarat-syarat tanpa mana tidak).musabah yaitu tiap-tiap syarat yang tidak dapat dihilangkan utuk timbulnya akibat,dinamakan jg teori ekuivalensi.karna menurut pendiriannya.tiap-tiap syarat adalah sama nilainya(equivalent).jg dinamakan teori bedingungstheorie,krn tdk ada perbedaan antara syarat(bedingung) dan mushab.orang yg menyalakan sumbu pelita sama dgn orang yang mengisi pelitadgn minyak.
                  Teori ini dianut oleh Reichsgericht jerman yaitu sebelum kalah dalam perang dunia ke2.dan Vo buri ketika itu ialah presiden mahkamah tersebut,di belanda penganutnya antra lain van Hamel.
                  Pandangan van Hamel tdk mungkin dipakai,apabila menghadapi delik-delik yg dikwalifisir oleh akibatnya,dimana utk memberi pemberatan pidana tdk diperlukan adanya kesalahan terhadap terdakwa timbulnya akibat yang memberatkan tadi.sesungguhnya sebagai jenis tersendiri tidak perlu diadakan dlm wet,krn:
·         Adalah kekeliruan mengadakan pemberatan pidana tanpa melihat kesalahan,dlm hkm pidana modern justru sikap batin terdakwa itu yg penting.
·         Jika toh kita masih akan mempertahankan adanya macam atau jenis delik tersebut cukuplah apabila ancaman pidana bagi delik itu telah ditinggalkan sehingga hakim dapat menjatuhkan pidana yg lebih berat dari pada delik biasa apabila ada hal lain yg timbul dari padanya.
                  Dapat dikatakan bahwa apa yg dipandang sebagai mushab oleh teori conditio sine qua non itu,utk peraktek ialah terlampau luas.karena itu harus di adakan batasan dengan mengadakan perbedaan antara mana yg menjadi musabah dan mana yg merupakan syarat belaka.
                  Dalam mencari batasan antara syarat dan musabah ini ada 2 pandangan yg berlainan yaitu:
·         Mereka yg mengadakan batasan secara umum (megeneralisir)yaitu secara abstrak,jd tdk terikat pd perkara yg tertentu saja,dan karena itu mengambil pendirian pd saat sebelum timbulnya akibat(ante faktum).
·         Mereka yg mengdakan batasan trsbut secara pandangan khusus (mengindividualisir),tdk meninjau secara abstrak dan umum,tetapi secara kongkrit mengenai perkara yg tertentu saja.
Golongan a) adalah golongan teori-teori yang menggeneralisir, Golongan b) adalah golongan teori-teori yang mengindividualisir.
B.     MENURUT VOS ADANYA BEBERAPA ELEMEN :
·         Elemen perbuatan atau kelakuan orang(een doen of een nalaten)
·         Elemen akibat dari perbuatan,yg terjadi dalam delict sekali.
·         Elemen sbyektif yaitu kesalahan,yg diwujudkan dengan kata-kata sengaja(opzen)atau alpa(culpa).
·         Elemen melawan hukum(wederrechtelijkheid)
·         Dan sederetan elemen-elemen lain menurut rumusan undang-undang,dibedakan menjadi segi obyektif misalnya dlm pasal 160 diperlukan elemen di muka umum (in het openbaar)dan segi subyektifr misal pd pasal 340 diperlukan unsur direncana lebih dahulu(voorbedachteraad).

C.    Demikian juga menurut HAZEWINKEL SURINGA didalam suatu strafbaarfei tdimungkinkan adanya elemen lain yaitu:
·         Elemen kelakuan orang(een doen of een naiaten)
·         Elemen akibat,dirumuskan oleh undang-undang karena pembagian delict formil dan materel.
·         Elemen pyschis,seperti elemen dengan maksud opzet dan nalatigheid .
·         Elemen obyektif yg menyertai keadaan delict.seperti elemen umum (in het openbaar)
·         Syarat tambahan untuk dapat dipidananya perbuatan(bijkomende voorwaarde van staf baarheid)seperti dalam pasal 164 dan165 disyaratkan apabila kejahatan terjadi.
·         Elemen melawan hukum(wederrechtelijkheid)sebagai elemen yang memegang peranan penting,seperti dalam pasal 167 dan 406(D.H.Suringa 1986:50).

D.    Pompe memandang elemen staf baarheid adalah:
·         wederrechtelijkheeid(unsur melawan hukum);
·         schuld(unsur kesalahan);
·         subsociale(unsur bahaya/gangguan/merugikan).(pomp 1959:79).
Dasar teori subsocialiteit dari VRIJ itu tumbuh karena adanya asas opportunieteit yaitu atas pertimbangan kemanfaatan didalam kepentingan hukum akan lebih baik kalau jaksa tidak menuntut perkara,sehingga perkara itu disimpan/dikesampingkan(deponeren)untuk tidak sampai diajukan kemuka pengadilan.
                  Tentang elemen-elemen perumusan delict yang diterangkan tersebut diatas,berdasarkan kepada pengertin dari pada  stafbaarfiet yang diartikan dalam definisi panjang/yang lebih mendalam atau definisi menurut teori sepeti yang diajarkan oleh SIMONS dan kawan-kawan.
                  Apabila menurut pandangan yang memandang delict sebagai straftbaar feit dalam arti definisi pendek/hukum positif , maka elemen- elemenya cukup memisahkan dengan mengambil elemen yang obyektif dari perincian menurut VOS maupun HAZEWINKEL SURINGA yaitu:
·         Elemen kelakuan (doon of nalaten)
·         Elemen akibat dari perbuatan menurutrumusan delict
·         Elemen obyektif yang menyertai  keadaan delict yang bersifat kwaliteit atau yang memberatkan atau yang meringankan
·         Elemen melawan hukum (wederrechtelijkheid)
                  Dari elemen yang obyektif dari pada delict itu, teknis perumusan secara konkrit di dalam sesuatu pasal peraturan di bedakan menjadi elemen yang slalu ada dan elemen yang tidak tetap kadang kala baru di cantumkan menurut kebutuhanya.  Yang sering di permasalahkan elemen –elemen delict adalah tentang :
·         Elemen kelakuan (handeling of menselijke gedraging)
·         Elemen akibat dari perbuatan ( veroorzaken van een gevolg)
·         Elemen melawan hukum ( wederrehtelijkheid)
                  Elemen kelakuan dalam bentuknya baik berupa kelakuan dengan berbuat sesuatu maupun tidak berbuat sesuatu yang seharusnya dilakukan , didalam ilmu pengetahuan hukum pidana sering di sebut dengan kelakuan positif , dan kelakuan negatif.
                  Beberapa pembahasan yang dilakukan VOS :
1)      Menyebutkan adanya suatu pengertiyan dari kelakuan sebagai gerakan otot yang di kehendaki dan pengertiyan ini berarti tidak dapat dimasukan terhadap kelakuan negatip jadi pengertiyan ini kurang lengkap.
2)      Kelakuan di artikan suatu kejadian yang di timbulkan oleh orang , yang nampak keluar , dan yang di tujukan kepada suatu tujuan yang menjadi obyek norma yang berlaku , dari pengertiyan ini pun kurang memuaskan.
3)      Kelakuan adalah sikap jasmani yang di sadari yang tidak termasuk gerakan jasmani karena reflek.
                  Elemen akibat dari perbuatan/ kelakuan orang yang dalam ilmu pengetahuan hukum pidana di kenal dengan  OORZAK dan GEVOLG , yaitu suatu hubungan antar sebab dan akibat yang dapat menimbulkan kejadiyan yang  di larang dan di ancam oleh undang-undang. Hubungan antara sebab dan akibat itu dalam undang-undang harus di tentukan apakah akibat yang terjadi di larang oleh undang-undang itu di sebabkan oleh  kelakuan orang yang melakukan ,  sehingga harus terbukti bahwa akibat  itu di sebabkan kelakuan yang bersangkutan atau kelakuan itu menyebabkan akibat yang bersangkutan .
                  Penentuan hubungan kausal ini diperlukan terhadap delict yang dirumuskan secara materiel dan delict yang dikwalisir dengan akibat.Adakalanya terhadap delct formil tertentu diperlukan juga hubungan kausal yang menurut VOS mengkonstatir adanya delict.Teori “conditio sine qua non” yang dikemukakan oleh VON BURI sarjana berkabangsaan jerman, dengan karangannya”Ueber cacausalitat und deren verantwortung” di leipzing 1873.Menurut teori ini,semua syarat yang menyebabkan akibat, dipandang sebagai musabab yang oleh karena itu sebagai sebab dari pada akibat, semua syarat dipandang sebagai musabab untuk terjadinya akibat, sehingga tidak dibedakan mana syarat yang dapat menjadi musabab dan yang mana hanya merupakan syarat belaka  maka ajaran teori ini terlalu luas dan karena menyamakan semua syarat untuk ajaran ini juga di sebut teori equivaleatie. Perbuatan menempatkan pelayan tidur di dapur belakang  kemudian teryata di gigit serangga berbisa dan meninggal maka perbuatan menempatkan pelayan itu di dapur di anggap kausal kematiyan.  Teori conditio sine qua non yang menyamakan antara syarat dan musabab , pada hakekatnya dapat menjadi dasar ajaran kausal dengan membuat perbedaan pola berfikir. Di satu pihak mencari syarat mana yang terpenting untuk terjadinya akibat dan di lain pihak menghargai  tiap – tiap syarat yang secara umum dapat menimbulkan akibat , Kedua pola berfikir ini melahirkan golongan teori yang mengindividualisasi ( mencari syarat yang terpenting) dan yang menggeneralisasi                         ( menyamaratakan syarat ) . 
             Teori yang mengindividualisasi atau di sebut individualiserende theorieen , menetukan syarat mana menurut kenyataan , post factum yaitu setelah peristiwa terjadi, syarat mana yang mempunyai pengaruh terbesar untuk terjadinya akibat :
·         Teori  MEIST WIRKSAME BEDIGUNG , Mengajarkan tentang faktor yang paling aktif dan efektif. Teori ini timbul kesulitan apabila ada dua kuda menarik kereta , kuda manakah yang paling kuat menarik kereta yang bergerak itu.
·         Teori GLEICHGEWICHT , Yaitu musabab adalah syarat yang mendorong ke arah timbulnya akibat ( positieve) jika di bandingkan dengan syarat yang mencegah                      ( negatieve) dengan perkataan lain dapat dikatakan bahwa syarat musabab jika syarat positip itu menetukan di atas syarat yang negatif.
Teori”die art des werdens”ajaran KOHLER merupakan variasi dari BIRKMEYER,yang bukan kwantitatief menurut sifatnya penting menimbulkan akibat.
·         Teori yang menggeneralisasi atau disebut generaliserende theorieen,pertimbangan secara anti factum yg mengambil pendirian pada saat sebelum timbulnya akibat.
·          Teori adequate dari VON KRIES dalam karangannya tentang uber den begriff der obyjektive moglichkeit.Vierteljahrschrift fur wissenschaftliche philosophie xll 1888 sarjana filosoof-fosioloog jerman ini mengajarkan teori tentang musabah adalah serentetan  syarat yang pada umumnya,menurut jalannya kejadian yang normal,dapat menimbulkan akibat.
·          Teori der adequaten Verursachung vom Standpunkte objectivnachtraglitcher prognose dari REMULIN dalam karangannya tentang Die Varwendung der causal begriffe im Straf und Civilrecht.”archive fur die zivilistische praxis XC”1900 yang mengajarkan teori adequate atas peramalan obyektif yaitu dengan mengingat keadaan-keadaan sesudahterjadi akibat (die objectiv-nanchtragliche).
·          Teori  adequate dari TRAEGER dalam karangannya tentang der kausalbegriff im staf und zivilrecht.1904 yang mengajarkan teori seimbang musabah harus dicari dari syarat yang manakah yang seimbang dengan akibat yang timbul.
·         Teori “relevantie”dari MEZGER dalam karangannya tentang “Strafrecht”1931.mengajarkan bahwa dalam menentukan hubungan causal tidak mengadakan perbedaan antara musabab dan syara, melainkan dengan menafrumusan delict yg memuat akibat dilarang itu coba dilarang menemukan yang manakah kiranya yang dimaksud pada waktu undang-undang itu di buat.
                Suatu kesengajaan dapat terjadi karena salah paham atau kekeliruan yang disebut dengan DWALING , diataranya adalah :
a.       Feitelijke dwaling
Jika kekeliruan itu ternyata tidak ada kesengajaan yang ditujukan pada salah satu unsur dari perbuatan pidana, maka perbuatan itu tidak dapat dipidana. Misalnya: Seseorang mengira dengan membayar suatu barang sudah menjadi pemilik dari barang tersebut.
b.      Rechtsdwaling
Melakukan suatu perbuatan dengan perkiraan bahwa hal itu tidak dilarang oleh undang-undang, Didalam Rechtsdwaling dapat dibedakan menjadi, kekeliruan yang dapat dimengerti (vershoonbaredwaling).Misalnya: Orang irian barat yang biasa hidup sebelum tahun 1962, masih telanjang bulat dan kebiasaan itu dilakukan diwilayah lain maka perbuatan itu bisa dimengerti atau mendapatkan konsekuensi sendiri.
c.       Eror in persona
Kekeliruan mengenai orang yang menjadi tujuan dari perbuatan pidana. Misalnya: A hendak membunuh B,oleh karena belum kenal terlalu dekat ternyata yang dibunuh itu adalah C, maka perbuatan itu tidak dapat melepaskan dari tuntutan hukum pidana karena kekeliruan.
d.      Error in objecto
Kekeliruan yang menjadi obyek yang menjadi tujuan dari perbuatan pidana. Misalnya: A melepaskan tembakan yang ditujukan kepada seekor rusa,akan tetapi tembakan itu mengenai seseorang yang dikira rusa dan akhirnya orang tersebut meninggal,maka orang tersebut dikenai perbuatan pidana yang lebih ringan.
e.       Aberratio ictus
Kekeliruan karena aberratio ictus mempunyai corak lain dari error in persona karena orangnya,akan tetapi karena macam-macam sebab perbuatannya menimbulkan akibat yang berlainan dari pada yang dikehendaki, Misalnya:  A hendak membunuh dengan melempar pisau kepada B, akan tetapi tidak mengenainnya dan malah mengenai C yang berada didekatnnya,dan C tersebut meninggal. Kepada A dapat dituntut hukum pidana karena percobaan membunuh B dan juga karena kealpaanya yang menyebabkan matinya orang lain.
Seperti diketahui dalam KUHP dikenal beberapa macam istilah “sengaja”  (opzet) sebagaimana dirumuskan pada tiap-tiap pasal,beberapa istilah itu dapat dipandang sebagai kata lain atau sama artinya dengan istilah sengaja,oleh karena MvT telah menetapkan kata sengaja adalah sama artinya dengan istilah sengaja. Sebagai lawan adalah “dengan maksud untuk” menurut pandangan dalam arti luas kecuali dengan nyata undang-undang menegaskan untuk dalam arti sempit,seperti perubahan yang terjadi di Nederland atas dasar wet 19 juli 1934 S. 405 yang untuk menjamin ketertiban umum terhadap penyiaran dapat dipidana apabila sipembuat mengetahui atau mempunyai alasan untuk menyangka (insyaf atau yang seharusnya insyaf) bahwa tulisan yang disiarkan itu dapat dipidana serta sipembuat berbuat demikian untuk mencari keuntungan. Dipihak lain berpendapat bahwa “dengan maksud untuk” diberikan arti makna yang subyektif dari terdakwa apa yang sesungguhnya dikehendaki olehnya, yang merupakan hubungan antara kehendak terdakwa dengan perbuatannya sebagai arah apa yang dilakukan, dan yang menurut ilmu pengetahuan dinamakan “subtief onrechtselemen” yaitu keadaan batin yang menentukan sifat melawan hukumnya.
§  GRASI

Dalam arti sempit berarti merupakan tindakan meniadakan hukuman yang telah diputuskan oleh hakim. Dengan kata lain, Presiden berhak untuk meniadakan hukuman yang telah dijatuhkan oleh hakim kepada seseorang.
Grasi ampun: Pengampunan wewenang dari kepala negara untuk memberi pengampunan terhadap hukum yangtelah dijatuhkan oleh hakim untuk memghapuskan salahnya,menggantijenis hukuman tambahan grasi oleh kepala negara dengan mempertimbangkan mahkamah agung.

§   AMNESTI

Merupakan suatu pernyataan terhadap orang banyak yang terlibat dalam suatu tindak pidana untuk meniadakan suatu akibat hukum pidana yang timbul dari tindak pidana tersebut. Amnesti ini diberikan kepada orang-orang yang sudah ataupun yang belum dijatuhi hukuman, yang sudah ataupun yang belum diadakan pengusutan atau pemeriksaan terhadap tindak pidana tersebut. Amnesti agak berbeda dengan grasi, abolisi atau rehabilitasi karena amnesti ditujukan kepada orang banyak. Pemberian amnesti yang pernah diberikan oleh suatu negara diberikan terhadap delik yang bersifat politik seperti pemberontakan atau suatu pemogokan kaum buruh yang membawa akibat luas terhadap kepentingan negara.

§  ABOLISI

Merupakan suatu keputusan untuk menghentikan pengusutan dan pemeriksaan suatu perkara, dimana pengadilan belum menjatuhkan keputusan terhadap perkara tersebut. Seorang presiden memberikan abolisi dengan pertimbangan demi alasan umum mengingat perkara yang menyangkut para tersangka tersebut terkait dengan kepentingan negara yang tidak bisa dikorbankan oleh keputusan pengadilan.

§   REHABILITASI
Rehabilitasi merupakan suatu tindakan Presiden dalam rangka mengembalikan hak seseorang yang telah hilang karena suatu keputusan hakim yang ternyata dalam waktu berikutnya terbukti bahwa kesalahan yang telah dilakukan seorang tersangka tidak seberapa dibandingkan dengan perkiraan semula atau bahkan ia ternyata tidak bersalah sama sekali. Fokus rehabilitasi ini terletak pada nilai kehormatan yang diperoleh kembali dan hal ini tidak tergantung kepada Undang-undang tetapi pada pandangan masyarakat sekitarnya

Mahatma Gandhi


Mahatma Gandhi
Hukum lingkungan dalam bidang ilmu hukum, merupakan salah satu bidang ilmu hukum yang paling strategis karena hukum lingkungan mempunyai banyak segi yaitu segi hukum administrasi, hukum pidana, dan hukum perdata. Dengan demikian, tentu saja hukum lingkungan memiliki aspek yang lebih kompleks. Dalam pengertian sederhana, hukum lingkungan diartikan sebagai hukum yang mengatur tatanan lingkungan (lingkungan hidup), di mana lingkungan mencakup semua benda dan kondisi, termasuk di dalamnya manusia dan tingkah perbuatannya yang terdapat dalam ruang di mana manusia berada dan mempengaruhi kelangsungan hidup serta kesejahteraan manusia serta jasad-jasad hidup lainnya.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) merupakan UU terakhir yang berlaku saat ini. UU ini diharapkan mampu menjawab persoalan lingkungan, mengingat persoalan lingkungan ke depan semakin kompleks dan sarat dengan kepentingan investasi dan semakin terpinggirkannya hak-hak masyarakat adat/lokal ketika berhadapan dengan korporasi besar. Tetapi hingga saat ini (19 bulan sejak UU PPLH disahkan) belum ada satu pun peraturan pelaksana yang diundangkan. Padahal UU PPLH mengamanatkan maksimal satu tahun harus sudah ada peraturan pelaksana. Kondisi ini jelas akan memperlemah aktualisasi penegakan hukum lingkungan hidup secara efektif. Dengan tidak adanya peraturan pelaksana (PP, Perpres) UU ini tidak mungkin dapat memberi implikasi nyata pada persoalan lingkungan.
Landasan hukum yang dipakai dalam UU PPLH yang mendasar adalah pasal 28H ayat 1 yang mengadopsi ketentuan dalam konvenan hak asasi manusia (HAM) tentang hak mendapat lingkungan yang baik dan pasal 33 ayat 1 berbicara tentang prinsip demokrasi ekonomi Indonesia. Maka jika menggunakan kedua pasal tersebut sebagai sandaran hukumnya maka minimal ada dua hal penting yang harus menjadi titik tekannya, yaitu penguatan hak masyarakat sipil (meningkatnya partisipasi masyarakat) dan tercapainya kesejahteraan ekonomi masyarakat Indonesia.
Berbicara konsistensi antara kedua prinsip tersebut di atas dengan materi yang terdapat dalam UU PPLH ini, terdapat beberapa ketentuan yang tidak konsisten. Berikut adalah beberapa pasal tersebut, pasal 26 ayat (2) “Bahwa pelibatan masyarakat harus dilakukan berdasarkan prinsip pemberian informasi yang transparan dan lengkap serta diberitahukan sebelum kegiatan dilaksanakan.” Dalam pasal ini tidak diikuti penjelasan seperti apa dan bagaimana bentuk informasi secara lengkap tersebut dan upaya hukum apa yang dapat dilakukan bila hal tersebut tidak dilakukan. Kemudian pasal 26 ayat (4), “Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat mengajukan keberatan terhadap dokumen amdal.” Pasal ini juga tidak diikuti penjelasan sehingga dapat menimbulkan kerancuan. Bagaimana prosedur mengajukan keberatan masyarakat yang menolak dokumen amdal tersebut?
        Kemudian dalam pasal 66, ”Setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata.” Dalam penjelasan pasal ini berbunyi, “Bahwa ketentuan ini dimaksudkan untuk melindungi korban dan atau pelapor yang menempuh cara hukum akibat pencemaran dan atau perusakan lingkungan hidup dan perlindungan dimaksudkan untuk mencegah tindakan pembalasan dari terlapor melalui pemidanaan dan atau gugatan perdata dengan tetap memperhatikan kemandirian peradilan.” Pasal ini seharusnya tidak perlu dicantumkan karena janji dalam pasal ini berlawanan dengan kemandirian peradilan, di mana setiap orang mempunyai hak dan kewajiban yang sama di dalam proses persidangan.
Dalam pasal 92 ayat (3), “Organisasi lingkungan hidup dapat mengajukan gugatan apabila memenuhi persyaratan:
  1. Berbentuk badan hukum
  2. Menegaskan di dalam anggaran dasarnya bahwa organisasi tersebut didirikan untuk kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidup, dan
  3. Telah melaksanakan kegiatan nyata sesuai dengan anggaran dasarnya paling singkat 2 (dua) tahun
       Dalam pasal ini, hak organisasi lingkungan hidup dikebiri sehingga hak organisasi lingkungan menjadi sulit karena adanya persyaratan yang memberatkan. Tidak dicantumkannya hak-hak organisasi masyarakat dan pondok pesantren lainnya juga memperlemah hak gugatan sengketa lingkungan. Padahal persoalan lingkungan hidup adalah persoalan bersama dan harus ditanggung bersama oleh setiap komponen bangsa.
       Kemudian dalam pasal 15, “Pemerintah dan pemerintah daerah wajib membuat KLHS untuk memastikan bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam pembangunan suatu wilayah dan atau kebijakan, rencana, danatau program.” Tidak adanya pertanggungjawaban yang ditimbulkan dari sebuah kewajiban. Ketentuan tersebut tidak mencantumkan sanksi apapun bagi pemerintah pusat atau pemerintah daerah yang tidak melakukannya.
Kearifan Lokal dan Prinsip Keadilan

         UU PPLH belum bisa dikatakan menjadi UU/peraturan yang baik dalam mewujudkan visi ideologisnya. Tidak adanya keserempakan antara UUD 1945, UU PPLH, dan tidak adanya Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Presiden (Perpres) membuat UU PPLH ini tidak dapat diterapkan.
Perubahan paradigma pengelolaan sumber daya alam berbasiskan negara ke pengelolaan sumber daya alam berbasiskan masyarakat dipandang penting untuk dilakukan untuk mewujudkan negara kesejahteraan yang diamanahkan konstitusi. Pemberian ruang bagi prinsip-prinsip keadilan, demokrasi, partisipasi, transparansi, penghargaan, dan pengakuan atas kearifan lokal.
Yang perlu dipertegas adalah prinsip keadilan yang meliputi aspek-aspek kesejahteraan rakyat, pemerataan, pengakuan kepemilikan masyarakat adat, dan adanya sanksi bagi para perusak. Prinsip keadilan ini bertujuan untuk perwujudan penyelenggaraan pengelolaan sumber daya alam yang menjamin keadilan antar dan intra generasi. Dengan adanya prinsip ini diharapkan terwujud perlindungan hukum bagi masyarakat adat dalam pengelolaan sumber daya alam.
 
Artikel ditulis oleh 
Dian Chandra Buana
Mahasiswa Pascasarjana UMS Solo. Menekuni advokasi dan riset ilmu-ilmu sosial. Mengawal kajian strategis dan dekat dengan kaum muda. Mengkreasi bermacam rekomendasi penting, untuk Indonesia yang jauh lebih baik.

Entri Populer