Setelah sekian lama kita tidak mendengar tentang BLT
bai dimedia elektronik maupun di media massa akan tetapi sekarang akibat dari
kebijakan pemerintah yang telah mengambil suatu keputusan dengan alasan bahwa
BLT sangat penting bagi masyarakat miskin apa sich sebenarnya BLT adalah
singkatan dari Bantuan Langsung Tunai, merupakan suatu program dari pemerintah
yang bertujuan untuk mengangkat perekonomian rakyat kurang mampu (tidak enak
kalau menggunakan kata miskin) dan lebih
membutuhkan dengan alasan bahwa untuk mensejahterahkan masyarakat, kebijakan
pemerintah sangatlah tidak rasional dengan banyaknya masyaraakt yang kurang
mampu mengalami busung lapar di berbagai daerah seperti dibagian wilayah timur
banyak masyarakat yang tidak mendapatkan BLT yang dijanjikan oleh pemerintah
kepada masyarakat pada jilid I (satu).
Setelah apa yang diperdebatkan antara kebijakan dengan pembodohan terhadap
BLT Kepada masyarakat di dewan perwakilan rakyat itu sangatlah tidak baik
karena sering di identifikasi dengan kekuasaan terhadap kepentingan para elit
politik baik itu mulai dari pencitraan nama baik individu maupun nama kelompok
mengatas namakan rakyat, sebab dengan pertentangan ini banyak hal yang itu
seharusnya tidak perlu diselesaikan secara panjang karena akan menyebabkan
pemikiran masyarakat bahwa mereka Cuma sebagai korban dan alat dari sebuah
kebijakan yang diambil pemerintah dengan alasan bahwa perekonomian APBN sangat
melemah dan melemahnya juga perekonomian dieropa-eropa.
Lalu, sampai kapan pemerintah akan melakukan BLT? Kalau memang status
mereka menjadi tidak miskin ditentukan oleh BLT yang diterimanya, maka ketika
tidak ada lagi program BLT (seperti yang baru saja diumumkan oleh pemerintah),
maka mereka akan segera jatuh ke kelompok miskin, dan akan menambah angka
kemiskinan nasional. Logikanya kalau BLT tetap diterapkan pada zaman sekarang
maka akan meningkatkan dan akan banyak orang miskin yang berada di Negara
Indonesia.
BLT juga selalu diberikan kepada orang yang sama. Karena BPS menggunakan
beberapa indikator dalam penentuan penerima BLT, maka hanya beberapa orang di
desa yang mendapatkannya. Dan untuk penerimaan berikutnya, sampai
berulang-ulang kali, penerimanya masih orang yang sama, yaitu mereka yang
terdaftar di BPS. Padahal, masih banyak masyarakat yang
pendapatannya sedikit diatas penerima BLT, tetapi mereka tidak pernah
mendapatkannya, Misalnya, si A hanya memiliki pendapatan Rp. 100.000 per bulan,
rumah dari bambu, berlantai tanah dll, sehingga dia dimasukkan dalam kelompok
penerima BLT. Sedangkan si B tetangganya, dengan kondisi yang hampir sama,
tetapi memiliki penghasilan Rp. 190.000 per bulan. Karena alasan pendapatan
diatas garis kemiskinan, maka dia tidak didaftar sebagai penerima BLT. Untuk
satu atau dua kali pemberian BLT, mungkin si B bisa menerima. Tetapi, melihat
si A yang menerima BLT berkali-kali dan tidak ada perubahan di hidupnya, maka
tentunya si B merasa cemburu, karena senyatanya dia hanya berbeda sedikit dengan
si A. Bahkan, dengan dana BLT, si A memiliki penghasilan yang lebih tinggi (Rp.
200.000) dari pada si B. Maka Kecemburuan social ini, banyak dirasakan
masyarakat desa.
Banyak
perangkat desa yang mengalami masalah dan keluhan atas penerimaan BLT di desanya,
memilih untuk menjalankan program padat karya dari pada BLT. Menurut mereka,
padat karya lebih jelas hasilnya (berupa bangunan fisik atau sarana umum) dan
ada penerimaan dari masyarakat, karena hanya mereka yang bekerja yang akan
mendapatkan upah. Pilihan ini masuk akal, karena bagi perangkat desa, konflik
yang ditimbulkan dari pelaksanaan padat karya akan relative jauh lebih kecil.
Sekalipun
begitu, tentunya pemilihan orang yang melakukan padat karya juga menjadi isu
penting. Karena tidak semua warga bisa kerja, misalnya janda tua yang miskin.
Tentunya, dia tidak bisa ikut padat karya, tetapi yang jelas dia membutuhkan
bantuan. Disini, terlihat bahwa program padat karya tidak bisa memenuhi kebutuhan
janda tua miskin tersebut dan sebab itu maka dibuat suatu pelatihan-pelatihan
seperti karya dalam hal membuat kerajinan tangan yang dapat dimanfaat dari alam
sekitar untuk melakukan suatu kerajinan tangan agar bermanfaat bagi mereka.
Oleh
karena itu kebijakan pemerintah sangatlah tidak boleh dilakukan dengan
menerapkan bahwa BLT bisa mensejahterahkan rakyat, ada baiknya bahwa BLT itu
dialihkan dengan memberi modal kepada masyarakat yang kurang mampu untuk
melakukan suatu usaha yang akan dijalankan serta dilakukannya juga pengawasan
yang diberikan oleh pemerintah terhadap masyarakat, dimana masyarakat kalau
tidak dilakukan pengawasan terhadap modal usaha maka masyarakat yang kurang
pengetahuan terhadap suatu usaha maka akan sia-sia kalau pemerintah daerah atau
kelurahan tidak melakukan control terhadap masyarakat yang menjalankan suatu
usaha yang mereka jalankan.
Pen
Pen
P
Tidak ada komentar:
Posting Komentar