SELAMAT DATANG DIBLOG ferlionbernata.blogspot.com

Jumat, November 30, 2012

ASAS LEGALITAS


BAB I



A.                Latar Belakang
           
Dalam ilmu hukum dikenal asas legalitas yang menyatakan bahwa asas legalitas merupakan perluasan dari hukum pidana oleh instansi yang berwenang mengandaikan semua orang mengetahui peraturan tersebut. Dengan kata lain tidak ada alasan bagi pelanggar hukum untuk menyangkal dari tuduhan pelanggaran dengan alasan tidak mengetahui hukum atau peraturannya.
Menurut teori Hukum, kewajiban untuk mempublikasikan peraturan yang dibuat dengan sendirinya gugur ketika peraturan tersebut resmi diundangkan oleh pemerintah. Sebagai contoh, pengundangan sebuah undang-undang di Indonesia dilakukan dengan menempatkannya dalam Lembaran Negara. Dengan pengundangan itu undang-undang resmi berlaku dan dengan sendirinya masyarakat dianggap mengetahuinya. Perintah pengundangan terdapat dalam tubuh undang-undang itu sendiri. Biasanya perintah pengundangan yang ditempatkan di bagian penutup suatu undang-undang itu berbunyi: “agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.”
Teori hukum mengasumsikan bahwa pengundangan peraturan mempunyai kekuatan mengikat, mengikat setiap orang untuk mengakui eksistensi peraturan tersebut (Mertokusumo:1985). Dengan demikian pengundangan peraturan tidak memperdulikan apakah masyarakat akan mampu mengakses peraturan tersebut atau tidak, apakah masyarakat menerima peraturan itu atau tidak. Disnilah muncul kelemahan teori hukum, pemerintah dapat berbuat sewenang-wenang pada masyarakat yang dianggap melanggar aturan hukum dan mengenyampingkan ketidaktahuan masyarakat atas hukum atau peraturan yang harus ditaati.
            Teori ini secara tidak langsung telah mengabaikan keberlakuan sosiologis hukum dalam masyarakat. Sebuah norma, dalam hal ini norma hukum akan efektif apabila memiliki keberlakuan secara filosofis, yuridis, dan sosiologis. Sebuah undang-undang bisa saja memiliki nilai filosofis yang sesuai dengan cita dasar sebuah negara (aspek filosofis) dan penyusunannya dilakukan melalui mekanisme yang sah berdasarkan udang-undang (aspek yuridis). Akan tetapi apabila undang-undang tersebut tidak diterima oleh masyarakat (aspek sosiologis) maka undang-undang itu tetap akan menjadi produk hukum yang gagal dalam arti tidak akan berlaku secara efektif. .
Sayangnya saat ini asas legalitas diterapkan dengan pendekatan teori hukum. sehingga publisitas hanya hanya difahami sebatas aspek formalnya saja. Pengundangan sebuah peraturan kini dianggap sudah cukup menggugurkan kewajiban mempublikasikan peraturan kepada masyarakat. Padahal di zaman modern ini asas legalitas memiliki substansi yang lebih dalam dari sekedar menempatkan peraturan di Lembaran Negara. Dalam kaitannya dengan reformasi hukum, aspek legalitas dalam hukum mencakup aksesibilitas masyarakat mendapatkan informasi tentang hukum baik itu hukum yang berlaku pada saat ini (ius constitutum) maupun hukum yang diharapkan berlaku dikemudian hari (ius constituendum). Untuk yang terakhir ini maka aspek legalitas mencakup juga hak masyarakat untuk berpartisipasi dalam perumusan dan pembuatan peraturan.
Keterlibatan masyarakat dalam perumusan peraturan perundang-undangan merupakan hak yang diatur dalam Undang-undang No 10 Tahun 2004 tentang Tata Cara Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang menyatakan bahwa: “Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tertulis dalam rangka penetapan maupun pembahasan perancangan undang-undang dan rancangan peraturan daerah.” Keterlibatan masyarakat dalam proses pembuatan peraturan perundang-undangan dengan sendirinya menunjukan terdapatnya akses yang luas bagi masyarakat untuk mendapatkan informasi hukum.


B.        Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, ada beberapa pokok masalah yang akan dirumuskan dalam penelitian ini, yaitu:
a.                    Untuk mengetahui masalah penerapan asas legalitas di dalam penegak hukum di masyarakat ?
b.                  Bagaimana kendala dalam informasi asas legalitas di masyarakat ?
c.                   Bagaimana upaya penegak hukum dalam menerapkan di masyarakat ?

C.        Tujuan penelitian
            Tujuan penelitian ini bertujuan untuk :
1.      Untuk mengetahui seberapa besar masalah penerapan asas legalitas di dalam penegak hukum di masyarakat.
2.      Untuk mengetahui kendala informasi asas legalitas dimasyarakat.
3.      Untuk mengetahui upaya yang dihapadi dalam penegak hukum di masyarakat.

D.                Kontribusi Penelitian
1. Ilmu Pengetahun
Diharapkan penelitian ini bisa menambah wawasan ilmu pengetahuan khususnya Hukum Pidana.
2. Pembangunan
Diharapkan dengan penelitian ini dapat memberikan sumbang saran untuk keberlangsungan pembangunan, khususnya non fisik berkaitan dengan pengaruh terhadap kualitas Aparat Penegak Hukum. Selain itu juga dapat memberikan masukan untuk pengembangan pelaksanaan Hukum supaya mencapai tujuan kesejahteraan umum dengan mempunyai Aparat Penegak Hukum  yang berkualitas.

D.        Manfaat penelitian
Manfaat dari hasil penelitian ini, antara lain ialah:
1.      Dari segi teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangan bagi ilmu hukum dan memperkaya hasil penelitian yang telah ada dan dapat memberi gambaran mengenai pengaruh terhadap asas legalitas dalam masyarakat.
2.      Dari segi praktis, hasil dari penelitian ini diharapkan dapat membantu memberi informasi khususnya kepada masyarakat Indonesia agar dapat lebih memahami masalah yang dihadapkan dalam masyarakat dengan menerapkan asas legalitas.

E. Metode Penelitian
1.        Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, karena peneliti ingin meneliti tentang upaya masyarakat,guru dan karyawan dalam memperoleh informasi tentang hukum dan kendala apa saja yang ditemui dalam upaya memperoleh informasi tentang hukum di Yogyakarta yang belum penulis ketahui secara pasti. Selain itu peneliti bermaksud memahami situasi sosial secara mendalam dan ingin menemukan pola-pola dalam upaya mensosialisasikan produk hukum sehingga dapat menjadikan masukan dalam mempublikasikan informasi tentang hukum.

2.        Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Yogyakarta.

3.        Instrumen Penelitian
Instrumen dalam penelitian ini adalah peneliti sendiri, dibantu oleh beberapa suverior dalam pengumpulan data.

4.               Sampel Sumber Data
Peneliti akan melakukan penggalian infomasi dari beberapa pihak yang mengetahui informasi tentang publikasi informasi hukum di berbagai bidang seperti masyarakat yang ada di yogyakarta

5.               Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang peneliti gunakan adalah observasi dan wawancara. Observasi peneliti lakukan untuk mengetahui lingkungan sosial di tingkat pendidikan, dan lain-lain. Adapun wawancara akan peneliti lakukan kepada seluruh stake holder di yogyakarta  yang terdiri dari Masyarakat, mahasiswa, dosen, Guru dan Karyawan.

6.               Teknik Analisis Data
Teknik analisis data dilakukan secara interaktif melalui proses data dan verifikasi dan dilakukan secara berurutan.




F.   Jadwal Pelaksanaan Penelitian
No.
Kegiatan
Bulan Ke
1
2
3
4
5
6
1.
Penyusunan Proposal
X





2.
Diskusi Proposal

X




3.
Memasuki lapangan

X




4.
Menentukan focus

X
X



5.
Tahap seleksi


X
X


6.
Menentukan tema, analisis tema


X
X


7.
Uji keabsahan data



X
X

No.
Kegiatan
Bulan Ke
1
2
3
4
5
6
8.
Membuat draf laporan penelitian




X
X
9.
Diskusi draf laporan penelitian




X
X
10.
Penyempurnaan Laporan




X
X

G.        Personalia Penelitian
a. Nama Lengkap       :   Ferlion Bernata
b. Jenis Kelamin         :   Laki-laki
c. Pekerjaan                :   Mahasiswa
d. Institusi                  :   Fakultas Hukum Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta.
e. Waktu untuk penelitian  : 10 jam/minggu




H.        Hasil dan rekomendasi
Hasil dan rekomendasi yang diharapkan dari penelitian ini adalah :
1.         Menggerakan dan meningkatkan peran serta guru dan Masyarakat dalam publikasi dan informasi tentang hukum sebagai upaya meningkatkan kesadaran akan pentingnya taat kepada hukum.
2.         Menempatkan peran dan partisipasi guru dan Masyarakat sebagai wadah informasi bagi masyarakat yang lainnya.
3.         Pengembangan forum komunikasi antar guru dan Masyarakat peduli hukum dan memberikan penghargaan kepada mereka atas usahanya dalam mempublikasikan produk hukum yang berlaku.






























BAB II
TINJAUAN PUSTAKA


A.                Pengertian asas legalitas

asas legalitas ini sering dirujuk sebagai nullum delictum, nulla poena sine praevia lege poenali, artinya: tiada delik, tiada pidana, tanpa didahului oleh ketentuan pidana dalam perundang-undangan. Walaupun menggunakan bahasa Latin, menurut Jan Remmelink, asal-muasal adagium di atas bukanlah berasal dari hukum Romawi Kuno. Akan tetapi dikembangkan oleh juris dari Jerman yang bernama von Feuerbach, yang berarti dikembangkan pada abad ke-19 dan oleh karenanya harus dipandang sebagai ajaran klasik.
 Dalam bukunya yang berjudul Lehrbuch des Peinlichen Rechts (1801), Feuerbach mengemukakan teorinya mengenai tekanan jiwa (Psychologische Zwang Theorie). Feuerbach beranggapan bahwa suatu ancaman pidana merupakan usaha preventif terjadinya tindak pidana. Apabila orang telah mengetahui sebelumnya bahwa ia diancam pidana karena melakukan tindak pidana, diharapkan akan menekan hasratnya untuk melakukan perbuatan tersebut. Oleh karena itu harus dicantumkan dalam undang-undang.
 Jauh sebelum asas ini muncul, seorang filsuf Inggris, Francis Bacon (1561-1626) telah memperkenalkan adagium moneat lex, priusquam feriat’, artinya: undang-undang harus memberikan peringatan terlebih dahulu sebelum merealisasikan ancaman yang terkandung di dalamnya. Dengan demikian, asas legalitas menghendaki bahwa ketentuan yang memuat perbuatan dilarang harus dituliskan terlebih dahulu.
Dalam tradisi sistem civil law, ada empat aspek asas legalitas yang diterapkan secara ketat, yaitu: Peraturan perundang-undangan (law), retroaktivitas (retroactivity), lex certa, dan analogi. Mengenai keempat aspek ini, menurut Roelof H Haveman, though it might be said that not every aspect is that strong on its own, the combination of the four aspects gives a more true meaning to principle of legality.



B.                 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi asas legalitas

Dalam Rancangan KUHP, asas legalitas telah diatur secara berbeda dibandingkan Wetboek van Straftrecht (WvS). Asas legalitas pada dasarnya menghendaki: (i) perbuatan yang dilarang harus dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan, (ii) peraturan tersebut harus ada sebelum perbuatan yang dilarang itu dilakukan. Tetapi, adagium nullum delictum, nulla poena sine praevia lege poenali telah mengalami pergeseran, seperti dapat dilihat dalam Pasal 1 Rancangan KUHP berikut ini:
(1). Tiada seorang pun dapat dipidana atau dikenakan tindakan, kecuali perbuatan yang dilakukan telah ditetapkan sebagai tindak pidana dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku pada saat perbuatan itu dilakukan.
(2). Dalam menetapkan adanya tindak pidana dilarang menggunakan analogi.
(3). Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang undangan.
(4). Berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sepanjang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan/atau prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa.

C.                Penerapan Asas Legalitas dalam Hukum Pidana di Indonesia

Perlu disadari bahwa Wet Boek van Strafrecht (WvS) merupakan peninggalan kolonial Belanda. Sehingga dalam pelaksanaannya memerlukan beberapa penyesuaian dalam konteks Indonesia. Di antaranya terdapat pasal-pasal yang tidak diberlakukan dan diamandemen dengan menambah pasal-pasal yang dianggap masih kurang. Dalam perkembangannya, kebijakan mengamandemen pasal-pasal KUHP ini ditinggalkan dengan membentuk undang-undang baru. Sehingga muncul apa yang disebut dengan tindak pidana di luar KUHP. Tetapi ternyata pengaturan tindak pidana di luar KUHP ini membentuk sistem tersendiri yang menyimpang dari ketentuan umum hukum pidana sebagaimana diatur dalam buku I KUHP. Baik itu mengenai asas hukumnya maupun ketentuan pemidanaannya
Sebagai peraturan peninggalan Beland, menurut Mudzakkir,32 asas legalitas kemudian menjadi problem dalam penerapannya. Asas legalitas dihadapkan pada realitas masyarakat Indonesia yang heterogen.33 KUHP maupun ketentuan pidana di luarnya masih menyisakan bidang perbuatan yang oleh masyarakat dianggap sebagai perbuatan yang dilarang, sementara undang-undang tertulis tidak mengatur larangan itu.
Tetapi, dalam sejarah hukum pidana Indonesia, keberadaan pengadilan adat memungkinkan diterapkannya pidana adat dan hukum yang hidup dalam masyarakat (living law) walaupun tindak pidana adat itu tidak diatur dalam KUHP. Oleh karena itu, asas legalitas dalam praktek di Indonesia tidak  diterapkan secara murni seperti yang dikehendaki Pasal 1 KUHP.
Jauh sebelum Indonesia merdeka, eksistensi peradilan adat telah diakui ketika pendudukan Belanda. Pengakuan peradilan adat ini dituangkan dalam berbagai peraturan yang dikeluarkan pemerintah pendudukan Belanda. Di awal-awal kemerdekaan, peradilan-peradilan adat masih tetap eksis, sementara KUHP (Wetboek van Strafrecht) diberlakukan untuk mengisi kekosongan hukum. UUDS 1950 dan UU Nomor 1 Tahun 1951 dianggap mengukuhkan keberadaan peradilan adat tersebut. Namun, secara historis sejak diberlakukannya UU Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, peradilan adat dihapuskan. Akibatnya praktis, eksistensi peradilan adat sudah berakhir melalui UU Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.
Dalam prakteknya, peradilan adat ini menjadikan hukum adat dan hukum yang hidup dalam masyarakat sebagai dasar untuk menuntut dan menghukum seseorang. Dengan kata lain, seseorang yang dianggap melanggar hukum adat (pidana adat) dapat diajukan ke pengadilan dan diberi hukuman. Karena praktek inilah, menurut Mudzakkir, yang menjadikan, RKUHP mencantumkan ‘hukum yang hidup dalam masyarakat’sebagai penyimpangan asas legalitas.
Hukum yang hidup dalam masyarakat, dalam literatur dapat dipersamakan dengan The Living Law yang cakupannya begitu luas. Di antaranya tercakup hukum kebiasaan, hukum adat, hukum lokal, hukum asli, hukum pribumi dan sebagainya. Pada dasarnya, hukumhukum yang tersebut itu mempunyai karakter yang sama, yaitu tidak tertulis. Yang menjadi pertanyaan selanjutnya, apakah hukum yang ‘hidup dalam masyarakat’ ini tercakup juga hukum agama, misalnya hukum Islam -- yang berlaku di NAD – yang berbeda karena tertulis dalam Kitab dan Hadist.
Hukum hidup dalam masyarakat ini dicantumkan dalam RKUHP pada Pasal 1 ayat (3). Otomatis yang dimaksud dalam RKUHP adalah ‘hukum yang hidup dalam masyarakat’yang berkaitan dengan hukum pidana, misalnya pidana adat dan hukum pidana Islam. Tentu saja pencantuman itu menimbulkan kontroversi di kalangan yuris, termasuk di antaranya yuris mancanegara, Prof. Schaffmeister yang menyebutkan pasal tersebut sebagai pasal akrobatik.
Kontroversi itu timbul tidak lain karena karakter hukum yang hidup dalam masyarakat yang sangat berbeda dengan karakter hukum pidana. Melalui asas legalitas, hukum pidana menghendaki aturan yang tertulis dan cermat. Sementara hukum yang hidup dalam masyarakat tidak tertulis. Pada dasarnya, munculnya terminologi hukum yang hidup dalam masyarakat dalam RKUHP tidak lain adalah untuk menunjuk hukum selain hukum yang dibentuk oleh negara. Dengan demikian, secara kasat mata RKUHP ini seolah membuka peluang pluralisme hukum walaupun mekanisme penyelesaiannya tetap menggunakan peradilan pidana. Asas legalitas dihadapkan dengan pemberlakuan hukum yang hidup dalam masyarakat.
Di Indonesia, dapat dikatakan hukum yang tidak tertulis itu kebanyakan adalah hukum adat. Dalam konteks RKUHP termasuk di situ maksudnya adalah delik adat. Menurut I Gede
A.B. Wiranata, penyebutan delik adat atau perbuatan pidana adat adalah kurang tepat, melainkan pelanggaran adat. Oleh karena sebenarnya yang dimaksud adalah penyelewengan dari berbagai ketentuan hukum adat, berupa sikap tindak yang mengganggu kedamaian hidup yang juga mencakup lingkup laku kebiasaan-kebiasaan yang hidup berupa kepatutan dalam masyarakat.
Delik adat atau pelanggaran adat berasal dari istilah Belanda adat delicten recht. Istilah ini tidak dikenal dalam berbagai masyarakat adat di Indonesia. Lagi pula, hukum adat tidak membedakan antara hukum pidana dan hukum adat. Hukum pelanggaran adat dimaknai sebagai aturan-aturan hukum adat yang mengatur peristiwa atau perbuatan kesalahan yang berakibat terganggunya keseimbangan masyarakat, sehingga perlu diselesaikan (dihukum) agar keseimbangan masyarakat tidak terganggu.
Dalam bukunya yang berjudul Hukum Adat Indonesia: Perkembangannya dari Masa ke Masa (2005), I Gede A.B. Wiranata menyimpulkan pelanggaran adat adalah, (i) suatu peristiwa aksi dari pihak dalam masyarakat; (ii) aksi itu menimbulkan adanya gangguan keseimbangan; (iii) gangguan kesimbangan itu menimbulkan reaksi; dan (iv) reaksi yang timbul menjadikan terpeliharanya kembali gangguan keseimbangan kepada keadaan semula. Sementara tugas penegakan hukum dan pelanggarannya ada pada kepala persekutuan hukum adat tersebut. Berbeda dengan pengaturan RKUHP yang menghendaki penegakannya tetap melalui aparat penegak hukum yang dibentuk oleh negara. Di antaranya tetap melalui polisi, jaksa, dan diperiksa melalui pengadilan. Hal ini tersirat dalam bunyi Pasal 100 ayat (1) RKUHP yang menyebutkan “Dengan memperhatikan ketentuan Pasal 1 ayat (4) hakim dapat menetapkan pemenuhan kewajiban adat setempat dan/atau kewajiban menurut hukum yang hidup.”



























DAFTAR PUSTAKA

ELSAM, Background Paper: Timjauan Umum Terhadap Rancangan KUHP Nasional, 2005
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Cetakan Ketujuh, 2000
M. Karfawi, Asas Legalitas Dalam Usul Rancangan KUHP (Baru) dan Masalahmasalahnya,



Entri Populer